bayyinaat

Published time: 20 ,February ,2018      07:38:54
Dengan mukadimah ini, penulis akan memaparkan pandangan dan argumentasi mazhab Syiah tentang imamah atau kepemimpinan setelah Rasulallah saw. Tentu tidak asing lagi bahwa Ahlusunah berkeyakinan khalifah pertama umat Islam adalah Abu Bakar yang dibaiat sebagai khalifah setelah Nabi saw.
Berita ID: 107


Masalah kepemimpinan setelah Rasulallah saw memiliki sejarah yang panjang dan penuh dengan perselisihan. Apa yang terjadi sepeninggal Nabi Muhammad saw menjadi awal perpecahan umat Islam dan dampaknya sangat jelas membekas hingga saat ini. Bukan rahasia lagi bahwa selepas kepergian Nabi saw para sahabat berselisih mengenai khalifah umat Islam. Sebagian sahabat berpegang pada wasiat Nabi saw untuk mengikuti Ali bin Abi Thalib sebagai amirul mukminin dan sebagian lagi mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah muslimin. Bermula dari sini, umat Islam pada zaman sekarang ada yang bermazhab Syiah yaitu pengikut Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait Nabi saw dan ada yang bermazhab Sunni yaitu penerus jalan para sahabat atau khalifah ar-Rasyidin.

Masing-masing kelompok memiliki argumentasi untuk membuktikan kebenaran pandangan dan keyakinannya. Dan tentu hal ini sah-sah saja dalam dunia ilmiah, setiap orang bisa menyampaikan pandangan dan argumentasi dengan baik tanpa adanya hinaan dan cacian. Akan tetapi dalam dunia nyata kita tidak boleh memaksakan pendapat kita kepada yang lain. Setiap orang memiliki dalil untuk mengikuti sebuah pandangan, meyakini dan menjalankannya. Karena itu yang perlu kita lakukan dalam dunia ilmiah adalah berdialog untuk menjelaskan pandangan masing-masing agar tidak terjadi kesalahpahaman dan demi terciptanya budaya saling memahami dan menghargai satu sama lain. Dan tidak ada paksaan untuk menerima pandangan masing-masing, yang diharuskan adalah menghormati bukan meyakini. Karena tidak ada paksaan dalam meyakini sebuah pandangan dalam Islam. Dan dalam dunia nyata, dalam berinteraksi antar mazhab kita perlu meningkatkan toleransi dan saling menghormati keyakinan dan praktek beribadah satu sama lain. Dengan toleransi ini akan tercipta kehidupan yang nyaman dalam perbedaan. Tidak akan ada rasa khawatir untuk berbeda, karena semua telah memahami apa keyakinan saudaranya. Dan tidak ada yang merasa aneh melihat tata cara salat yang berbeda karena umat Islam memiliki wawasan keislaman yang luas. Dan dengan ini diharapkan tidak akan ada lagi penindasan mayoritas terhadap minoritas di negara tercinta Indonesia.

Dengan mukadimah ini, penulis akan memaparkan pandangan dan argumentasi mazhab Syiah tentang imamah atau kepemimpinan setelah Rasulallah saw. Tentu tidak asing lagi bahwa Ahlusunah berkeyakinan khalifah pertama umat Islam adalah Abu Bakar yang dibaiat sebagai khalifah setelah Nabi saw. Dalam tradisi arab, pengakuan terhadap khalifah dinyatakan dengan sumpah setia yang disebut dengan baiat. Dan dalam pandangan Ahlusunah baiat sebagian atau seluruh umat Islam dapat mengangkat seseorang menjadi khalifah yang sah secara syar’i.[1] Akan tetapi mazhab Syiah hanya menerima nash sebagai cara untuk menentukan khalifah dan baiat umat tidak menjadikan kepemimpinan seseorang menjadi sah secara syar’i. Masyru’iyat atau keabsahan secara syar’i sebuah kepemimpinan hanya datang dari Allah swt melalui nash, bukan dari baiat umat Islam. Karena itu dalam pandangan Syiah pemimpin yang sah adalah pemimpin yang dipilih oleh Allah swt melalui lisan Nabi-Nya. Dan baiat umat Islam kepadanya merupakan hak khalifah yang sah, karena sumpah setia umat kepada khalifah Allah sama dengan sumpah setia mereka kepada Allah swt. Kedudukan baiat dalam pandangan syiah adalah bentuk janji umat Islam untuk setia membela dan menaati perintah khalifah yang telah tentukan oleh Allah swt. Karena itu dalam pandangan Syiah, khalifah atau pemimpin yang dipilih oleh umat Islam, bukanlah khalifatullah yang sebenarnya.

Oleh karena itu, sepeninggal Nabi saw sebagian sahabat menolak untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah dan mereka mengajukan protes kepada Abu Bakar untuk memberikan kepemimpinan kepada yang berhak menerimanya, yaitu Ali bin Abi Thalib. Di antara mereka yang menolak Abu Bakar sebagai khalifah adalah sebagai berikut; Salman Farisi, Abu Dzar al Ghiffari, Miqdad bin Aswad, Amar bin Yasir, Buraidah Aslami (dari golongan muhajirin), dan Abu al Haitsam bin Taihan, Sahl, Usman bin Hanif, Khazimah bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Ayyub al-Anshari (dari golongan anshar)[2] dan bahkan Sa’ad bin Ubadah yang dipilih oleh kaum anshar sebagai khalifah pengganti nabi, sampai akhir umurnya tidak membaiat Abu Bakar.[3] Dan yang paling penting adalah putri tercinta Nabi Muhammad saw, Fatimah az Zahra sa sampai akhir hayatnya tidak membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Sedangkan Nabi saw bersabda:

«من مات و لم یعرف امام زمانه، مات میتة جاهلیة»[4]

"Barangsiapa yang mati dalam keadaan jahil (tidak mengetahui) imam pada zamannya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.

Mungkinkah putri Nabi saw meninggal tanpa mengenal imam atau khalifahnya dan meninggal dalam keadaan jahiliyah? Sangat sukar untuk diterima, karena Fatimah sa adalah salah satu wanita terbaik yang dijanjikan surga.

Rasulallah saw bersabda:

«أفضل نساء أهل الجنة خديجة بنت خويلد و فاطمة بنت محمد و مريم بنت عمران و آسية بنت مزاحم امرأة فرعون»[5]

"Sebaik – baik wanita ahli surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad saw, Maryam binti Imrom dan Asiah binti Muzahim istri Fir’aun.

Hadis di atas sangat terkenal baik di kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Khadijah adalah istri Nabi saw yang begitu sabar menemani perjuangan Rasulallah saw dan memberi pengorbanan yang sangat besar untuk Islam. Maryam binti Imron pun tidak asing bagi kita, beliau adalah ibunda Nabi Isa as yang suci. Asiah istri Firaun pun sangat terkenal karena keteguhan dan pengorbanannya demi mempertahankan iman mengantarkannya mati di jalan Allah swt. Dan Fatimah putri Nabi saw, tidak ada yang tidak mengenalnya. Seluruh umat Islam baik Ahlusunah maupun Syiah menerima beliau sebagai wanita yang mulia dan memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah swt. Kedudukan dan kemuliaan Fatimah bisa kita lihat dari keimanan, kesetiaan, dan dukungannya kepada perjuangan Nabi yang telah ia lakukan dari masa kanak-kanak. Beliaulah yang membersihkan kotoran yang dilemparkan kafir quraisy kepada ayahnya. Begitu juga dengan cara hidup beliau yang mencerminkan kehidupan Islami yang sempurna; kesederhanaan, kedermawanan, kepedulian dan itsar[6] (pengorbanan) beliau kepada sesama menunjukkan kemuliaan akhlak yang sangat tinggi. Dan ketaatan, ibadah, kesabaran dan keteguhan beliau dalam meniti jalan kenabian dan mempertahankan kebenaran ajaran ayahnya merupakan cermin kepribadian yang luar biasa. Karena nilai-nilai maknawiyah inilah Nabi sangat mencintai Fatimah. Cinta beliau bukan hanya sekedar karena hubungan darah antara seorang ayah dan putrinya. Akan tetapi hubungan ini merupakan ikatan iman dan cinta kepada Allah swt. Kecintaan Nabi kepada Fatimah sa adalah kecintaan kepada iman dan kebenaran. Karena itu bukan tanpa alasan Nabi bersabda:

"Fatimah adalah darah dagingku, barangsiapa yang menyakitinya sama dengan menyakitiku dan barangsiapa yang membuatnya marah maka sama dengan membuatku marah dan barangsiapa yang membuat ia ridha maka ia telah membutku ridha.[7]

Dari hadit-hadit yang menjelaskan tentang keutamaan Fatimah sa tersebut, kita kita menyimpulkan bahwa tidak mungkin Fatimah tidak mengenal imamnya dan meninggal dalam keadaan jahiliyah. Karena beliau adalah wanita yang dijanjikan surga, artinya kebenaran bersama beliau dan sikap beliau menjadi hujah atau dalil untuk menunjukkan kebenaran kepada yang lainnya. Karena itu dalam masalah imamah atau kepemimpinan, di saat perselisihan terjadi di antara kaum muslimin, maka kita bisa menjadikan Fatimah sebagai tolak ukur kebenaran. Kepada siapa beliau berpihak, maka di situlah kebenaran. Dan jika kita melihat sejarah, Fatimah sa tidak membaiat Abu Bakar sampai akhir hayatnya. Bahkan beliau marah dan tidak ridha terhadap apa yang dilakukan Abu Bakar terhadap umat Islam. Di saat Abu Bakar dan Umar menjenguk Fatimah sa yang sedang sakit, beliau berkata:

"Apakah kalian tidak mendengar Rasulallah saw bersabda bahwa keridhaan Fatimah adalah keridhaanku dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku? Dan abu Bakar menjawab, iya kami mendengarnya dari Rasulallah saw. Kemudian Fatimah berkata, "Maka aku bersaksi kepada Allah swt dan malaikat-Nya, bahwa kalian berdua telah membuatku murka dan aku tidak meridhai kalian berdua, dan di saat aku menemui Nabi, aku akan mengadukan kalian berdua kepadanya”. Dengan mendengar kata-kata ini abu bakar menangis dan meninggalkan rumah Fatimah sa.[8]

Dengan demikian, jelas bahwa Fatimah tidak membaiat abu bakar sampai akhir kehidupannya. Tapi hal ini bukan berarti Fatimah tidak memiliki imam atau khalifah. Dengan melihat sejarah tentang perselisihan umat Islam dalam masalah khilafah setelah Nabi saw, kita bisa melihat dengan jelas perjuangan Fatimah membela Ali dalam mengambil haknya sebagai khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa Fatimah berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Dan dengan demikian, khalifah dan imam yang haq (benar) adalah Ali bin Abi Thalib karena Fatimah adalah tolak ukur kebenaran.

Demikianlah pandangan Syiah tentang khilafah setelah Nabi saw. Salah satu argumen yang menguatkan pandangannya adalah sikap Fatimah putri Nabi yang tidak membaiat Abu Bakar sampai akhir hayatnya. Dengan ini, mazhab Syiah dalam sepanjang perjalanan sejarah tidak mengikuti Abu Bakar dan para khalifah yang menggantikannya, melainkan hanya kepada Imam Ali dan 11 keturunannya yang suci. Apakah mereka duduk di kursi kekuasaan dan memerintah umat Islam atau tidak, mereka tetap menjadi imam dan panutan orang-orang Syiah. Inilah salah satu perbedaan Syiah dengan Ahlusunah. Akan tetapi setiap orang bebas memilih pandangan dan keyakinan yang menurutnya benar. Jadi perbedaan tidak semestinya menimbulkan kebencian dan permusuhan. Siapa yang ingin mengikuti Ali sebagai imamnya dan siapa yang ingin mengikuti Abu Bakar sebagai khalifahnya, keduanya bebas memilih jalannya. Kedunya memiliki konsekuensi yang akan menyebabkan perbedaan dalam furu’ atau cabang agama seperti cara salat dan ibadah lainnya. Karena itu perlu toleransi dan saling menghormati pandangan dan perbedaan cara beribadah masing-masing agar tercipta kehidupan yang tenang dan damai.



[1] Qadhi ‘Adudin Iji, al Mawaqif, Hal 399.

[2] Ahmad bin Ali Thabarsi, Matan dan Terjemah Ihtijaj, Jild 1, Hal 129.

[3] Muhammad bin Jarir Thabari, Tarikh Tabari, Jild 4, Hal 1349.

[4] Ahmad bin Abi Bakar Bushari, Ittihaful Khairah, Hal 59; Muhammad ibn Abdullah Nisaburi, al Mustadrak ‘ala Shahuhain, Jild 1, Hal 150.

[5] Yusuf Abdullah qurthubi, al Isti’ab fi ma’rifati al ashhab, jild 4, hal 1822/1895.

[6] Itsar adalah mendahulukan kepentingan orang lain dari pada dirinya.

[7] Muhammad ibn Ali ibn Babuyeh, II’tiqadat al Imamah, Hal 130.

[8] Ibnu Qutaibah, al Amanah wal Siyasah, Jild 1, Hal 24.

komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: