bayyinaat

Published time: 17 ,April ,2018      16:14:43
Berita ID: 117

Akhlak Politik Perspektif Imam Ali a.s. (Bagian Kedua)5. Metode kepemimpinan yang berakhlak

Sisi kedua politik yang berakhlak adalah metode akhlaki. Menurut Imam Ali a.s., negara adalah institusi yang memiliki dan menjalankan kekuasaan untuk mewujudkan tujuan final. Tidak ada jalan untuk penyimpangan seperti hegemoni dan superioritas.

Pandangan ini berbeda dengan pandangan umum saat itu yang memahami pemerintahan sebagai konsepsi memburu kekuasaan. Imam Ali a.s. dalam suratnya kepada Malik Asytar mewasiatkan untuk memperbaiki pemahaman tentang negara dan kekuasaan, dan merapikan pandangan politiknya dengan benar.[1]

6. Keadilan pondasi dasar politik yang berakhlak

Keadilan, menurut Imam Ali a.s. merupakan elemen substansial dan pilar terpenting politik. Teori politik beliau tidak dapat dipahami tanpa mengenal konsepsi dan signifikansi keadilan perspektif beliau. Dalam praktik pun, Imam Ali a.s. tidak menerima fleksibilitas sedikit pun dalam menegakkan keadilan meski hal itu menimbulkan berbagai permasalahan bagi beliau.

Perbedaan utama pemerintahan Islami dengan pemerintahan lainnya, menurut beliau adalah keadilan dan anti kezaliman. Karena seluruh prinsip akhlaki yang dipegang oleh manusia dalam kondisi normal, akan lenyap dalam kondisi yang didominasi kezaliman. Oleh karena itulah, Imam Ali a.s. selalu berjuang melawan ketidakadilan dan menegakkan prinsip-prinsip akhlaki di tengah masyarakat dan di kalangan para pemimpin (yang berkuasa).

7. Menjaga hukum-hukum Ilahi dalam politik

Dimensi penting lainnya yang dapat menjelaskan teori akhlak politik Imam Ali a.s. adalah penekanan terhadap pentingnya menjaga hukum-hukum Ilahi oleh pemerintah. Memperhatikan hukum-hukum Ilahi dalam politik menjadikan politik itu sendiri sepenuhnya memiliki sisi akhlak dan mencegah para pemimpin menggunakan cara-cara non-akhlaki dalam mewujudkan tujuan-tujuan politik mereka.

Imam Ali a.s. menyebut politik bertujuan untuk menjalankan hukum-hukum Ilahi. Maka untuk mencapai tujuan-tujuan politik, beliau tidak memperkenankan menginjak-injak hukum-hukum Ilahi sedikit pun.

8. Kemuliaan manusia dan politik yang berakhlak

Dimensi lain yang turut menentukan teori politik akhlaki Imam Ali a.s. adalah beberapa tujuan dan karekteristik pemerintahan menurut beliau. Dalam pemerintahan Imam Ali a.s., kemuliaan manusia dalam level tertingginya tetap terjaga semaksimal mungkin. Imam Ali a.s. meyakini kemuliaan substansial manusia harus berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Menurut Imam Ali a.s., terlepas dari agama dan keyakinan, manusia memiliki kemuliaan dan pemerintah harus menghormati nilai kemanusiaannya. Dalam permulaan surat kepada Malik Asytar, Imam Ali a.s. membagi manusia kepada dua golongan; saudara seagama atau sesama manusia. Oleh karena itu, beliau a.s. mewasiatkan untuk tidak memangsa mereka seperti binatang buas memakan mangsanya dan menikmati korbannya.[2]

Perintah ini disampaikan pada saat para pemimpin (penguasa) berlaku di hadapan rakyat seperti binatang buas, tidak menghormati hak-hak dasar mereka. Pemerintahan yang berdiri di atas konsep "kemuliaan manusia”, tidak mungkin menginjak-injak akhlak dan prinsip-prinsip akhlaki saat berhadapan dengan mereka. Oleh karena itu, Imam Ali a.s. senantiasa melawan segala bentuk diskriminasi di kalangan muslimin atau non muslim, lelaki atau perempuan, yang pro atau oposisi terhadap pemerintah.

9. Akhlak pemain-pemain politik

Dimensi penting lain yang menjadi perhatian Imam Ali a.s. dalam pandangan politik beliau adalah akhlak para pemain politik. Imam Ali a.s. meyakini jenis perilaku pejabat di berbagai tingkat sebagai lahan utama kedaulatan akhlak politik dan terwujudnya tujuan pemerintahan yang berakhlak. Oleh karena itu, beliau menyeru para pejabat pemerintahan beliau untuk menjaga hukum-hukum dan takwa Ilahi sebagai benteng yang menjaga auliya Allah.[3]

Pada tahap pertama, Imam Ali a.s. menyeru diri sendiri untuk bertakwa dan pada saat yang sama menunjukkan diri sebagai orang yang memiliki komitmen terhadap hal itu:

"Aku berikan jaminan dan tanggung jawab atas apa yang aku katakan. Bila pelajaran-pelajaran terdahulu dijadikan orang sebagai kaca cermin, takwa akan mencegahnya jatuh ke dalam keragu-raguan… Demi Allah! Aku tidak menyembunyikan sepatah kata pun dari kebenaran dan tidak mengucapkan suatu kebohongan.”[4]

Pada tahap kedua, Imam Ali a.s. mewasiatkannya kepada para pejabat lebih dari orang lain karena mereka lebih layak untuk menjaga ketakwaan, menjauhi azab akhirat, dan tidak terperdaya dengan keindahan dunia:

"Ia (Amirul Mukminin Ali a.s.) menyuruh Malik Asytar untuk bertakwa kepada Allah dan mengikuti perintah wajib dan sunah-Nya yang tanpa mengikutinya orang tak dapat mencapai kebajikan, dan tak (dapat orang) menjadi jahat kecuali dengan menentang dan mengabaikannya; dan untuk menolong Allah Yang Mahasuci dengan tangan, hati dan lidahnya, karena Allah Yang nama-Nya Mahamulia berjanji akan menolong orang yang menolong-Nya dan melindungi orang yang memberi-Nya dukungan.”[5]

Tentunya sumber pandangan Imam Ali a.s. ini adalah penghambaan yang tulus ikhlas kepada Allah swt; penghambaan yang tidak pernah berhenti dalam setiap waktu atau tempat, terlebih saat menjabat sebagai khalifah dan pemimpin; karena dalam kondisi tersebut justeru kesempatan untuk berbuat zalim dan kerusakan sangat terbuka.

Selain itu, Imam Ali a.s. memandang para khalifah (pemimpin) sebagai teladan masyarakat dan menganggap ketakwaan pemimpin sebagai faktor kebersihan dan kesucian masyarakat, dan sebaliknya kezaliman penguasa sebagai pembuka jalan kezaliman dan kerusakan umum.



[1] Lihat: Nahjul Balaghah, Surat ke-53.

[2] Ibid.

[3] "Sesungguhnya takwa Ilahi telah menyelamatkan auliya Allah dari hal-hal yang haram dan memberikan pada hati mereka ketakutan kepada-Nya hingga malam-malam mereka lewatkan dalam jaga dan siang dalam haus.” Ibid, Khutbah ke-114.

[4] Ibid, Nahjul Balaghah, Khutbah ke-16.

[5] Ibid, Surat ke-53.

5. Metode kepemimpinan yang berakhlak

Sisi kedua politik yang berakhlak adalah metode akhlaki. Menurut Imam Ali a.s., negara adalah institusi yang memiliki dan menjalankan kekuasaan untuk mewujudkan tujuan final. Tidak ada jalan untuk penyimpangan seperti hegemoni dan superioritas.

Pandangan ini berbeda dengan pandangan umum saat itu yang memahami pemerintahan sebagai konsepsi memburu kekuasaan. Imam Ali a.s. dalam suratnya kepada Malik Asytar mewasiatkan untuk memperbaiki pemahaman tentang negara dan kekuasaan, dan merapikan pandangan politiknya dengan benar.[1]

6. Keadilan pondasi dasar politik yang berakhlak

Keadilan, menurut Imam Ali a.s. merupakan elemen substansial dan pilar terpenting politik. Teori politik beliau tidak dapat dipahami tanpa mengenal konsepsi dan signifikansi keadilan perspektif beliau. Dalam praktik pun, Imam Ali a.s. tidak menerima fleksibilitas sedikit pun dalam menegakkan keadilan meski hal itu menimbulkan berbagai permasalahan bagi beliau.

Perbedaan utama pemerintahan Islami dengan pemerintahan lainnya, menurut beliau adalah keadilan dan anti kezaliman. Karena seluruh prinsip akhlaki yang dipegang oleh manusia dalam kondisi normal, akan lenyap dalam kondisi yang didominasi kezaliman. Oleh karena itulah, Imam Ali a.s. selalu berjuang melawan ketidakadilan dan menegakkan prinsip-prinsip akhlaki di tengah masyarakat dan di kalangan para pemimpin (yang berkuasa).

7. Menjaga hukum-hukum Ilahi dalam politik

Dimensi penting lainnya yang dapat menjelaskan teori akhlak politik Imam Ali a.s. adalah penekanan terhadap pentingnya menjaga hukum-hukum Ilahi oleh pemerintah. Memperhatikan hukum-hukum Ilahi dalam politik menjadikan politik itu sendiri sepenuhnya memiliki sisi akhlak dan mencegah para pemimpin menggunakan cara-cara non-akhlaki dalam mewujudkan tujuan-tujuan politik mereka.

Imam Ali a.s. menyebut politik bertujuan untuk menjalankan hukum-hukum Ilahi. Maka untuk mencapai tujuan-tujuan politik, beliau tidak memperkenankan menginjak-injak hukum-hukum Ilahi sedikit pun.

8. Kemuliaan manusia dan politik yang berakhlak

Dimensi lain yang turut menentukan teori politik akhlaki Imam Ali a.s. adalah beberapa tujuan dan karekteristik pemerintahan menurut beliau. Dalam pemerintahan Imam Ali a.s., kemuliaan manusia dalam level tertingginya tetap terjaga semaksimal mungkin. Imam Ali a.s. meyakini kemuliaan substansial manusia harus berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Menurut Imam Ali a.s., terlepas dari agama dan keyakinan, manusia memiliki kemuliaan dan pemerintah harus menghormati nilai kemanusiaannya. Dalam permulaan surat kepada Malik Asytar, Imam Ali a.s. membagi manusia kepada dua golongan; saudara seagama atau sesama manusia. Oleh karena itu, beliau a.s. mewasiatkan untuk tidak memangsa mereka seperti binatang buas memakan mangsanya dan menikmati korbannya.[2]

Perintah ini disampaikan pada saat para pemimpin (penguasa) berlaku di hadapan rakyat seperti binatang buas, tidak menghormati hak-hak dasar mereka. Pemerintahan yang berdiri di atas konsep "kemuliaan manusia”, tidak mungkin menginjak-injak akhlak dan prinsip-prinsip akhlaki saat berhadapan dengan mereka. Oleh karena itu, Imam Ali a.s. senantiasa melawan segala bentuk diskriminasi di kalangan muslimin atau non muslim, lelaki atau perempuan, yang pro atau oposisi terhadap pemerintah.

9. Akhlak pemain-pemain politik

Dimensi penting lain yang menjadi perhatian Imam Ali a.s. dalam pandangan politik beliau adalah akhlak para pemain politik. Imam Ali a.s. meyakini jenis perilaku pejabat di berbagai tingkat sebagai lahan utama kedaulatan akhlak politik dan terwujudnya tujuan pemerintahan yang berakhlak. Oleh karena itu, beliau menyeru para pejabat pemerintahan beliau untuk menjaga hukum-hukum dan takwa Ilahi sebagai benteng yang menjaga auliya Allah.[3]

Pada tahap pertama, Imam Ali a.s. menyeru diri sendiri untuk bertakwa dan pada saat yang sama menunjukkan diri sebagai orang yang memiliki komitmen terhadap hal itu:

"Aku berikan jaminan dan tanggung jawab atas apa yang aku katakan. Bila pelajaran-pelajaran terdahulu dijadikan orang sebagai kaca cermin, takwa akan mencegahnya jatuh ke dalam keragu-raguan… Demi Allah! Aku tidak menyembunyikan sepatah kata pun dari kebenaran dan tidak mengucapkan suatu kebohongan.”[4]

Pada tahap kedua, Imam Ali a.s. mewasiatkannya kepada para pejabat lebih dari orang lain karena mereka lebih layak untuk menjaga ketakwaan, menjauhi azab akhirat, dan tidak terperdaya dengan keindahan dunia:

"Ia (Amirul Mukminin Ali a.s.) menyuruh Malik Asytar untuk bertakwa kepada Allah dan mengikuti perintah wajib dan sunah-Nya yang tanpa mengikutinya orang tak dapat mencapai kebajikan, dan tak (dapat orang) menjadi jahat kecuali dengan menentang dan mengabaikannya; dan untuk menolong Allah Yang Mahasuci dengan tangan, hati dan lidahnya, karena Allah Yang nama-Nya Mahamulia berjanji akan menolong orang yang menolong-Nya dan melindungi orang yang memberi-Nya dukungan.”[5]

Tentunya sumber pandangan Imam Ali a.s. ini adalah penghambaan yang tulus ikhlas kepada Allah swt; penghambaan yang tidak pernah berhenti dalam setiap waktu atau tempat, terlebih saat menjabat sebagai khalifah dan pemimpin; karena dalam kondisi tersebut justeru kesempatan untuk berbuat zalim dan kerusakan sangat terbuka.

Selain itu, Imam Ali a.s. memandang para khalifah (pemimpin) sebagai teladan masyarakat dan menganggap ketakwaan pemimpin sebagai faktor kebersihan dan kesucian masyarakat, dan sebaliknya kezaliman penguasa sebagai pembuka jalan kezaliman dan kerusakan umum.



[1] Lihat: Nahjul Balaghah, Surat ke-53.

[2] Ibid.

[3] "Sesungguhnya takwa Ilahi telah menyelamatkan auliya Allah dari hal-hal yang haram dan memberikan pada hati mereka ketakutan kepada-Nya hingga malam-malam mereka lewatkan dalam jaga dan siang dalam haus.” Ibid, Khutbah ke-114.

[4] Ibid, Nahjul Balaghah, Khutbah ke-16.

[5] Ibid, Surat ke-53.


komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: