bayyinaat

Published time: 17 ,April ,2018      16:19:08
Berita ID: 118

10. Menegasikan kehausan kekuasaan

Bagaimana posisi dan nilai kekuasaan di mata Imam Ali a.s.? Dari manakah sumbernya dan apa tujuan meraihnya? Apakah kekuasaan selalu disertai tanggung jawab atau pemilik kekuasaan hanya memanfaatkannya?

Kekuasaan dengan sendirinya, menurut Imam Ali a.s. tidak memiliki nilai sama sekali, ia hanya sarana untuk mencapai tujuan kebahagiaan manusia. Kekuasaan tidak akan pernah menjadi tujuan. Oleh karena itu, sepanjang hidup beliau tidak pernah melakukan gerakan demi kekuasaan:

"Ya Allah! Engkau mengetahui bahwa apa yang kami lakukan bukanlah untuk mencari kekuasaan, bukan pula untuk memperoleh sesuatu dari kehampaan dunia, melainkan kami hendak memulihkan tiang-tiang agama-Mu dan mengantarkan kemakmuran ke bumi-Mu agar orang-orang yang tertindas di antara hamba-hamba-Mu selamat, dan perintah-perintah-Mu yang telah dilalaikan dapat ditegakkan kembali.”[1]

Amirul Mukminin a.s. tidak pernah bertindak untuk memuaskan hawa nafsu, namun segala perilaku; jihad, berdiam diri atau memegang tampuk kekuasaan, semuanya dalam rangka memperoleh ridha Allah swt:

"Apabila orang-orang tidak datang kepadaku (untuk membaiat), dan para pendukung tidak mengajukan hujah, dan apabila tidak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tidak boleh berdiam diri dalam keserakahan penindas dan laparnya orang tertindas, maka sudah aku lemparkan kekhalifahan dari pundakku (dan aku akan duduk berdiam diri seperti hari pertama dulu sepeninggal Nabi saw.).”[2]

Dalam menerima khilafah, Imam Ali a.s. tidak memiliki motifasi selain ishlah urusan rakyat dan mengatur mereka. Beliau tidak menunjukkan minat untuk mencapai kekuasaan, atau menggunakan cara selain cara-cara yang berakhklak. Hal itu beliau lakukan pada saat beliau meyakini bahwa khilafah adalah hak beliau:

"Kedudukanku sehubungan dengan itu (khilafah) adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir dariku dan burung tak dapat terbang di atasku (ilmu dan kesempurnaanku).”[3]

Meski demikian, Imam Ali a.s. lebih mementingkan maslahat umat Islam daripada hak pribadi. Beliau tidak pernah merencanakan untuk merebut khilafah dan kekuasaan. Bila umat tidak berbondong-bondong datang kepada beliau untuk urusan khilafah, beliau tidak akan menghiraukannya.

Rahasia sikap ini berada dalam pandangan Ilahiah Imam Ali a.s. Kekuasaan di mata beliau tidak ada nilainya sama sekali, bahkan tidak lebih berarti dari sepasang sepatu usang kecuali bila hal itu digunakan untuk menegakkan keadilan.[4]

Dengan dasar ini, Imam Ali a.s. tidak pernah menempuh maslahat dengan membaurkan kedustaan dan tidak pula menggunakan cara non akhlaki untuk mencapai tujuan-tujuan tinggi:

"Apakah kalian menyuruhku mencari kemenangan dengan cara menzalimi kaum Muslimin yang kepemimpinannya diserahkan kepadaku? Demi Allah! Selama (aku masih berumur), malam dan siang datang silih berganti, dan bintang-bintang masih terbit dan tenggelam di langit, aku tidak akan berbuat demikian. Bahkan seandainya itu adalah milikku, aku akan membagikannya secara sama di antara mereka; apalagi itu milik Allah?”[5]

Imam Ali a.s. menjelaskan hal itu di saat kezaliman dan muslihat dalam pemerintahan telah menjadi tradisi yang mendominasi, rakyat memandang tipu daya sebagai tanda superioritas dan kepintaran. Beliau a.s. mengecam keras mentalitas semacam itu dan menunjukkan sisi buruknya:

"Demi Allah! Muawiah tidak lebih cerdik dariku. Ia melakukan penipuan dan perbuatan licik (ingkar janji). Apabila kelicikan bukan sebuah hal yang buruk, tentulah aku menjadi orang yang paling licik dari semua manusia. Setiap penipuan adalah dosa dan setiap dosa adalah kedurhakaan (kepada Allah) yang akan membutakan hati.”[6]

11. Menepati janji

Salah satu sisi penting teori politik Imam Ali a.s. adalah menepati janji. Beliau tidak pernah melanggar janji, meski dalam kondisi dapat mematahkan tipu muslihat musuh dengan cara tersebut. Beliau a.s. tidak melihat hal itu sebagai sebuah kelayakan meski menghasilkan kemenangan.

Dalam berbagai surat kenegaraan yang ditujukan kepada para gubernur, Imam Ali a.s. selalu menekankan pesan untuk menepati janji. Surat kepada Malik Asytar adalah salah satu contohnya:

"Penuhilah janjimu (jangan engkau langgar)… kerena tiada kewajiban Ilahi yang sama seperti menepati janji. Meski seluruh manusia berbeda dalam pemikiran dan kecenderungan, namun mereka sepakat perihal menepati janji.”[7]

Imam Ali a.s. tidak menyepakati usulan sabahat-sahabat beliau di perang Shiffin untuk melanggar perjanjian:

"Celakalah kalian! Apakah kita akan mengingkari perjanjian yang telah disepakati? Bukankah Allah swt berfirman, "Penuhilah janji kalian”?[8]

12. Hak-hak rakyat di hadapan pemerintah

Seluruh pembahasan di atas menunjukkan pandangan Imam Ali a.s. tentang hak-hak rakyat di hadapan pemerintah. Pandangan tersebut disampaikan Imam Ali a.s. di saat kepatuhan penuh terhadap para pemimpin dianggap sebagai tugas rakyat. Beliau a.s. menekankan hak rakyat dalam memilih pemerintah, hak-hak timbal balik penguasa dan rakyat:

"Yang paling besar dari hak-hak timbal balik yang diwajibkan Allah Yang Mahasuci ialah hak penguasa (pemimpin) atas rakyat yang dikuasai dan hak rakyat atas penguasa. Inilah kewajiban yang telah ditetapkan Allah Yang Mahasuci atas satu sama lainnya. Dia telah menjadikannya sebagai basis bagi kelanggengan hubungan mereka dan suatu kemuliaan bagi agama mereka. Maka rakyat yang dikuasai tidak mungkin memperoleh kebaikan kecuali dengan baiknya para penguasanya, dan para penguasa tidak akan memperoleh kebaikan kecuali dengan keistiqamahan rakyatnya.”[9]

Imam Ali a.s. menyebut "maslahat rakyat” sebagai tujuan final pemerintah dan menjadikan keadilan sebagai neraca untuk menentukan pemerintahan yang baik. Beliau a.s. sangat anti dengan penguasa yang berbuat zalim terhadap rakyat:

"Tiada hal yang dapat merubah karunia Allah atau mempercepat pembalasan-Nya lebih dari keberlanjutan dalam kezaliman, karena Allah mendengar doa orang yang tertindas dan mengawasi para penindas… Wahai Malik! Jauhkanlah dirimu dari pertumpahan darah tanpa alasan yang benar, karena tiada hal yang lebih mengundang azab Allah, lebih berpengaruh dalam merosotnya kemakmuran dan memendekkan usia, lebih besar akibat (buruknya) daripada menumpahkan darah tanpa alasan yang benar.”[10]

Oleh karena itu, saat menjadi khalifah kaum muslimin, Imam Ali a.s. menyatakan:

"Demi Allah! Aku lebih suka melewatkan suatu malam dalam jaga di atas duri-duri as-sa’dân (tumbuhan berduri lancip)… daripada menemui Allah dan Rasul-Nya di hari kiamat nanti sebagai orang yang menzalimi hamba-hamba Allah… Dan bagaimana aku dapat menzalimi sesorang untuk kepentingan satu jiwa yang sedang bergerak cepat ke arah kehancuran dan akan tinggal di bawah tanah untuk waktu lama?”[11]

Ringkasnya, hal yang membedakan kehidupan Imam Ali a.s. dengan selain beliau adalah kesesuaian priktik dan teori dalam kehidupan secara sempurna. Sejarah menyaksikan banyak individu yang selalu mengharapkan kebaikan masyarakat dan memiliki berbagai pandangan tinggi, namun mereka terkadang tidak dapat mengamalkannya atau tidak mampu melakukan penyesuaian antara teori dan praktik. Imam Ali a.s. dari sisi teori akhlaki, tidak ada tandingan dalam sepanjang sejarah, namun lebih tidak tertandingi dari sisi praktiknya.

Selain komitmen terhadap prinsip-prinsip akhlaki, kemanusiaan, dan kesatriaan, Imam Ali a.s. menunjukkan ketaatan penuh terhadap perintah dan larangan Ilahi. Tidak ada satu faktor pun yang dapat menghalangi beliau mengamalkan ucapan dan pandangan yang bernilai tinggi.

Salah satu khutbah sensasional berkenaan dengan akhlak dalam Nahjul Balaghah berikut ini menjadi penutup dan husn al-khitam tulisan ini:

"Kalau kalian tak dapat mengelakkan kebanggaan, hendaklah kebanggaan itu dalam hal-hal yang sifatnya baik, amal perbuatan yang terpuji dan yang mengagumkan, yang menjadi sifat para pembesar dan kabilah Arab yang mulia, seperti akhlak hasanah, pikiran yang agung, sikap yang terhormat dan perilaku yang baik. Kalian juga harus menunjukkan kebanggaan dalam kebiasaan yang terpuji seperti menghormati dan menjaga hak-hak tetangga, memenuhi janji, mematuhi orang baik, melawan yang sombong, dermawan kepada orang lain, pantang durhaka, menjauhi pertumpahan darah, berlaku adil kepada sesama, menahan amarah, dan menghindari membuat kerusakan di bumi.”[12]


[1] Ibid, Khutbah ke-131.

[2] Ibid, Khutbah ke-3.

[3] Ibid.

[4] Lihat: Khutbah ke-33.

[5] Ibid, Khutbah ke-126.

[6] Ibid, Khutbah ke-200.

[7] Ibid, Surat ke-53.

[8] Peikar-e Shiffin (Perang Shiffin), Nasr bin Muzahim, terjemah Parviz Atabeki, halaman 514.

[9] Nahjul Balaghah, Khutbah ke-212.

[10] Ibid, Surat ke-53.

[11] Ibid, Khutbah ke-224.

[12] Ibid, Khutbah ke-192.


komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: