bayyinaat

Published time: 28 ,May ,2018      14:41:54
Sejak peristiwa serangan 11 September 2001, AS tidak hanya membunuh lebih dari 4 juta orang di negara-negara ini, tetapi juga telah melahirkan terorisme baru dan modern dalam skala besar, yang salah satu dampaknya adalah serangan terakhir di Indonesia.
Berita ID: 121

Teror ledakan beberapa bom beberapa pekan lalu yang dimulai dari Jawa Timur dan kemudian Riau disinyalir merupakan bagian dari kelompok jaringan teroris Jamaah Anshar Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan kelompok ISIS di Irak dan Suriah. Dugaan ini sangat kuat lantaran hal tersebut dikemukakan oleh kepolisian Republik Indonesia.

Dikutip dari laman situs Republika, pada Senin 14 Mei 2018, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto adanya kebangkitan sel-sel terorisme, khususnya kelompok Jamaah Ansharu Daulah (JAD) yang selama ini sempat "tertidur". "Mereka ini adalah kelompok JAD Jabodetabek, termasuk Bandung. Sekarang mereka bergerak bersama-sama," kata Setyo.

Sebelumnya, pada Ahad, 13/05/18, dini hari, empat teroris JAD yang menuju Mako Brimob ditembak mati di Cianjur. Pengembangan selanjutnya, dua orang ditangkap di Cikarang, Bekasi, dan Sukabumi. Lalu, pada Ahad pagi, sejumlah gereja di Surabaya diteror bom. Sebanyak 13 orang tewas dan puluhan orang luka-luka. Seolah tak mau berhenti, malam harinya di Sidoarjo, bom juga meledak di sebuah rumah susun yang menewaskan tiga orang. Belum selesai, selang satu hari setelah pemboman di Surabaya, publik dikagetkan oleh serangan bom di Riau, Pekanbaru.

Sekitar enam orang melakukan penyerangan di Markas Kepolisian Daerah Riau dengan menggunakan sebuah mobil minibus berwarna putih menabrakkan pagar Mapolda sekitar pukul 09.00 WIB, pada Rabu, 16/05/18. Dalam operasinya, mereka menabrakkan kendaraan ke arah pos penjaga yang membuat seorang polisi meninggal dunia.

Kasus-kasus terorisme di Indonesia adalah sedikit dari banyaknya kasus kematian akibat teror yang melanda dunia. Pertanyannya adalah, apa realitas terorisme dan siapa korban utamanya? Menurut data yang dirilis oleh Global Terrorism Index (GTI) tahun 2017, sepuluh negara teratas paling terpengaruh oleh aksi terorisme adalah negara-negara mayoritas Muslim kecuali India (di nomor 8). Korban terorisme dari lima negara teratas itu cukup mengkhawatirkan.

Statistik GTI menunjukkan 50 negara teratas berdasarkan indeks terorisme global pada tahun 2017 yang secara sistematis merangking negara-negara di dunia sesuai dengan aktivitas teroris.

Irak menempati peringkat pertama pada indeks terorisme global dengan skor 10 poin, menjadikannya sebagai negara yang paling terkena dampak terorisme di dunia. Irak menderita paling parah dari serangan teroris terbanyak sejak tahun 2015, dengan jumlah 2.418 serangan dan korban jiwa terbanyak dari serangan teroris pada tahun 2015, dengan angka mencapai angka 6.932 korban.

Rujuk GTI: https://www.statista.com/statistics/271514/global-terrorism-index/

Negara-negara lain dalam urutan berikutnya adalah: Afghanistan, Nigeria, Suriah, Pakistan, dan Yaman. Jika Muslimin adalah pelaku terorisme, seperti yang dituduhkan oleh media dan pengamat Barat, mengapa justru mereka menjadi korban terbesarnya?

Ada faktor lain penting untuk realitas ini. Dilihat dari rekam jejaknya, maka setiap negara seperti dalam grafik GTI, yang terkena dampak aksi terorisme adalah akibat langsung dari keterlibatan AS dalam urusan negara-negara tersebut. Oleh karena itu, Amerika Serikat adalah sumber masalah dan bencana, yang menyebabkan kekacauan dan kehancuran negara-negara muslim.

Sejak peristiwa serangan 11 September 2001, AS tidak hanya membunuh lebih dari 4 juta orang di negara-negara ini, tetapi juga telah melahirkan terorisme baru dan modern dalam skala besar, yang salah satu dampaknya adalah serangan terakhir di Indonesia. Meskipun AS meneriakkan paling keras tentang isu terorisme, namun dalam tahun-tahun ini kurang dari 520 orang Amerika tewas terbunuh dalam serangan di seluruh dunia, kecuali satu kali dalam peristiwa teror pada 11 September 2011.

Kebanyakan mereka yang tewas dalam kekerasan terorisme itu terkait erat dengan penggunaan senjata. Sekitar 34.594 kematian pada tahun 2014 berdasarkan studi tahun 2016 yang diterbitkan di Jurnal AJPH, "American Journal of Public Health", dibanding kematian warga AS dalam perang sejak peristiwa 11 September dan setiap korban terorisme.

Baca: https://ajph.aphapublications.org/doi/abs/10.2105/AJPH.2016.303182

Dari data AJPH, faktanya menunjukkan bahwa tuduhan terorisme adalah bagian dari propaganda keji untuk mengutuk kaum Muslim sebagai teroris yang justru merupakan korban terbesarnya. Dan Amerika Serikat adalah pelaku terorisme terbesar. Statistik GTI dan AJPH membuktikan hal ini dengan jelas dan gamblang.

Serangan terhadap Mapolda Riau yang merupakan rentetan dari serangan jaringan teroris setelah kerusuhan di Mako Brimob dan tiga Gereja di Surabaya, Jawa Timur adalah bagian dari rangkaian agenda asing yang ingin terlibat lebih jauh kedalam sistem keamanan Indonesia.

Meski komandan militer Amerika menyadari bahwa momok terorisme tidak bisa lagi dipertahankan untuk menakut-nakuti orang, namun Strategi Keamanan Nasional (NSS) Amerika terbaru, yang dirilis pada bulan Oktober 2017, memberi penekanan lebih besar pada ancaman dari China dan Rusia. Sementara hubungan Indonesia dengan China dan Rusia sangat produktif pada tahun-tahun terakhir, dan tren positif ini terus berlanjut ke tahun krusial menjelang pemilu Presiden 2019. []

komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: