Tauhid merupakan asas agama Islam. Tauhid dalam akidah Islam meliputi
tauhid dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Dan salah satu cabang tauhid dalam
perbuatan adalah tauhid rububiyah. Rububiyah berasal dari kata "robb”
yang artinya pengurus, pembimbing dan pemelihara yang mana sering disimpulkan
dengan kata "tarbiyah”.[1]
Sedangkan "murobbi” atau pendidik adalah orang yang mengatur segala
urusan mutarobbinya atau yang ia didik agar sampai pada kesempurnaan. Dan
tauhid rububiyah artinya hanya Allah swt yang memiliki hak dan kekuasaan mutlak
mengatur segala urusan makhluk di alam semesta ini dan jika ada diantara
makhluk-Nya yang memiliki kewenangan dalam mengatur urusan umat di dunia ini,
maka ketahuilah bahwa kekuasaan itu tidak lepas dari izin dan kehendak Allah swt.[2]
Sebab itu Allah swt dalam mengatur urusan umat manusia, baik secara takwini maupun
tasyri’i melantik wakil-Nya di muka bumi sebagaimana firman-Nya:
«وَ
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً»[3]
"Dan ingatlah ketika Robb mu (Tuhanmu) berfirman kepada para
malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”.
Jadi keberadaan khalifatullah di muka bumi ini merupakan
perpanjangan dari misi Ilahi dalam mengurus dan mengatur makhluk-Nya supaya masing-masing
sampai pada kesempurnaan. Karena itu ketaatan kepada khalifatullah adalah
kewajiban umat sebagaimana firman-Nya:
«يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَطيعُوا اللهَ وَ أَطيعُوا
الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ »
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan
ulil amr (para washi/khalifah) di antara kamu”. (Q.s Al Nisa: 59).
Tauhid rububiyah juga berkaitan erat dengan
tauhid uluhiyah (penyembahan). Dengan
berwilayah dan menaati nabi dan khalifahnya, ibadah manusia
akan diterima di sisi Allah swt. Karena ketaatan kepada keduanya merupakan
bagian dari tauhid rububiyah yang merupakan landasan dari tauhid uluhiyah. Dan
sebaliknya, menolak dan menentang mereka menyebabkan tertolaknya amal ibadah
kita. Sebagaimana iblis yang sudah bertahun-tahun beribadah kepada Allah swt
sehingga derajatnya sama dengan para malaikat, akan tetapi karena dia menolak otoritas wilayah Nabi Adam as
yang merupakan khalifah Allah swt, maka ibadahnya menjadi sia-sia. Begitu juga
dengan ibadah kita akan sia-sia, jika kita menolak berwilayah
kepada khalifah Allah swt pada zaman sekarang ini.
Karena itu walaupun setiap salat, kita mengakui
tauhid rububiyahnya dengan mengatakan:
«اَلْحَمْدُ
لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ»[4]
"Segala puji hanya bagi Allah, Robb (pengatur) semesta alam”.
Dengan ini, kita telah menyatakan bahwa hanya Allah swt-lah Robb, pengatur
urusan alam semesta termasuk urusan agama kita. Kepada siapa kita harus merujuk
dan berimam, kepada siapa kita harus taat dan patuh, Allah swt telah
mengaturnya. Kemudian kita menyatakan "taslim”, menyerahkan
ketaatan dan pengabdian seutuhnya hanya kepada-Nya dengan mengatakan:
«إيَّاكَ
نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ»[5]
"Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan”.
Artinya hanya kepada Allah swt ketaatan kita berikan. Apa saja yang
Allah swt perintahkan maka kita akan menyahut, "sami’na wa atho’na”,
kami mendengar dan taat. Jadi di saat Allah swt melantik khalifah-Nya di muka bumi dan menyuruh untuk
menaati-Nya maka konsekuensi dari tauhid rububiyah dan
uluhiyah ini adalah kita harus sami’na wa atho’na. Dan jika sebaliknya kita
menyambut seruan itu dengan "sami’na wa ‘ashaina”, kami mendengar dan
kami ingkar, maka sebanyak apa pun ibadah yang kita lakukan dan ikrar "iyyakana’budu”
yang kita ucapkan akan menjadi sia-sia. Karena apa yang kita katakan hanya kebohongan semata. Jika benar "hanya kepada-Mu kami menyembah” maka
kita harus menerima kepemimpinn khalifah-Nya.
[1]
Tahkik fi Kalamatil Quran, Jild 4, Hal 34.
[2]
Saidi Mehr, Kalam Islami, Jild 1, Hal 110.
[3]
Q.s. Al Baqarah: 30.
[4]
Q.s Al Fatihah: 2
[5] Ibid,
ayat 5.