bayyinaat

Published time: 27 ,February ,2017      15:41:35
Fitri.001324@gmail.com
Faktor persiapan tarbiyah tidak kalah penting dari usaha orang tua dalam mendidik anaknya setelah dilahirkan. Dan mentarbiyah diri sendiri merupakan bagian dari usaha untuk mentarbiyah anak – anak menjadi manusia yang baik. Orang yang berhasil mendidik dirinya, berpeluang besar untuk berhasil mendidik anak – anaknya.
Berita ID: 35

Anak adalah anugrah dari Allah swt dan sekaligus merupakan titipan-Nya. Anugrah karena keberadaan anak membawa kegembiraan, kebahagiaan dan juga berkah yang banyak. Merupakan titipan karena yang pertama, tidak ada hakikat kepemilikan bagi kita terhadap semua yang ada di alam semesta ini, dan yang kedua karena hakikat manusia adalah "ruhullah”[1] yang di tiupkan ke jasad manusia. Karena itu sebagai orang yang dititipi, kita memiliki kewajiban untuk menjaga titipan tersebut agar tetap baik sampai hari Allah swt mengambilnya. Karena itu sebelum kita menjadi orang tua kita harus mengetahui apa hakikat amanah ini.

Anak dilahirkan ke dunia dengan membawa fitrah "ketuhanan” lebih tepatnya fitrah "tauhid” fitrah yang menjadi sumber segala kebaikan.[2] Akan tetapi fitrah ini tidak cukup untuk mengantarkan seorang anak pada kehidupan Ilahiyah. Bahkan cahaya fitrah ini bisa redup jika tidak diperhatikan. Karena itu orang tua berkewajiban untuk menyiram dan memelihara fitrah tersebut supaya tumbuh subur dan berkembang, menjadi bunga – bunga indah manifstasi asma – Nya. Inilah yang dimaksud dengan tarbiyah. Menjaga "fitrah” sebagai amanah Allah swt pada diri seorang anak dan membantu mengaktualkannya.

Tentu hal ini tidak mudah, karena itu imam Sajjad as yang mashum sekalipun meminta pertolongan kepada Allah swt dalam mendidik anak – anaknya.

وَ أَعِنِّي‏ عَلَى‏ تَرْبِيَتِهِمْ‏ وَ تَأْدِيبِهِمْ، وَ بِرِّهِم‏[3]

"Ya Allah tolonglah aku dalam mentarbiyah dan mendidik serta berbuat baik kepada mereka (anak – anak beliau).

Ibarat seorang petani yang mengaharapkan benih tanamanya tumbuh dengan subur secara maksimal. Maka yang pertama ia harus memilih bibit yang unggul. Kedua, ia harus menyiapkan lahan yang baik untuk benihnya. Ia harus menyiangi rumput yang ada, mencangkul, memberikan pupuk dan lain sebagainya sehingga bibit yang ia tanam di lahan tersebut bisa mengobtimalkan pertumbuhannya. Ketiga, ia harus selalu memantau pertumbuhan tanamannya, mencegah hama dan mencabut rumput – rumput yang tumbuh menghalangi perkembangannya.

Mendidik anak pun demikian. Karena itu Islam jauh hari sebelum anak dilahirkan telah mewasiatkan agar memilih pasangan yang baik. Diantara kriteria laki – laki yang baik menurut Islam adalah baik agama dan akhlaknya serta amanah. Karena itu kita diperintahkan untuk menerima laki – laki yang baik agama dan akhlaknya. Jika ia miskin maka Allah swt yang akan mencukupkan rizki untuknya. Akan tetapi jika kita menolaknya, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan (fasad) yang besar.

و إذا خطب‏ إليك‏ رجل‏ رضيت دينه و خلقه‏ و أمانته فزوّجه، فانّ اللّه يقول

إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ‏ و إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَ فَسادٌ كَبِيرٌ[4]

Begitu juga dengan memilih pasangan wanita, karena rahim wanita adalah tempat dimana anak kita memulai kehidupannya dan dengannya ia akan tumbuh dan besar. Rasulallah saw menyuruh kita menjauhi tanaman yang tumbuh di tempat sampah. Saat ditanya apakah maksud dari tanaman yang tumbuh ditempat sampah? Rasulallah saw menjawab:

الْمَرْأَةُ الْحَسْنَاءُ فِي مَنْبِتِ السَّوْءِ[5]

"Wanita cantik yang besar di lingkungan keluarga yang buruk”.

Karena itu kecantikan bukanlah tolak ukur utama untuk menentukan pilihan akan tetapi keshalehan lebih penting dari rupa. Rasulallah saw mengatakan bahwa tidak ada nikmat yang lebih besar bagi seorang lelaki setelah Islam melainkan istri shalehah yang menyenangkan bila dipandang, mentaati bila diperintah dan menjaga diri dan hartanya saat ditinggalkan.[6]

Selain memilih pasangan yang baik, kedua orang tua harus memperhatikan hal – hal yang bisa merusak anaknya. Salah satu faktor yang mempengaruhi ruhiyah anak adalah makanan. Baik makanan jasmani maupun makanan ruhani. Makanan jasmani berupa kehalalan makanan dan cara memperolehnya. Sedangkan makanan ruhani adalah apa yang ia pandang, apa yang ia dengar dan pikirkan. Kedua faktor ini harus diperhatikan orang tua sejak awal sebelum pembuahan, bahkan disaat keduanya belum menikah. Karena makanan akan menjadi bagian dari diri yang akan membentuk janin dan juga mempengaruhi rahim.

Jika orang tua memperhatikan hal ini, insya Allah benih yang dihasilkan akan berkualitas dan rahim yang menampungnya pun sehat dari polusi ruhiyah. Sehingga anak akan mudah dididik di masa yang akan datang. Anak akan mudah mendengar dan menerima konsep ketuhanan, kebenaran dan kebaikan yang diajarkan. Akan tetapi jika halal haram tidak diperhatikan sejak dini, maka jangan salahkan siapa – siapa jika anak susah mendengar perkataan tauhid dan lebih condong pada keburukan dan kejahatan.

Imam Husain as mengisyaratkan bahwa makanan haram menyebabkan hati menjadi keras. Hal ini terbukti di padang Karbala saat Imam Husain as mengingatkan dan menasehati tentara Yazid agar kembali pada jalan Islam dan kemanusiaan, akan tetapi hati mereka tidak mampu mendengar kebenaran. Karena itu mereka tega membantai keluarga nabi di hari Asyura.[7] Dan tentu kita tidak ingin anak – anak kita menjadi penentang Allah swt, Rasul dan ahlul baytnya.

Karena itu kebahagiaan dan kesengsaraan serta selamat dan celakanya seseorang bermula di rahim ibunya.

الشَّقِيُ‏ مَنْ‏ شَقِيَ‏ فِي بَطْنِ أُمِّهِ وَ السَّعِيدُ مَنْ سَعِدَ فِي بَطْنِ أُمِّه‏[8]

"Kesengsaaran orang yang sengsara berada di perut ibunya dan kebahagiaan orang yang bahagia berada di perut ibunya”.

Guru Farzaneh menafsirkan hadist ini dengan mengatakan, "Setengah faktor yang mempengaruhi kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang berkaitan dengan rahim dan setengahnya lagi berkaitan dengan tarbiyah dan lingkungan yang membesarkannya”.[9]

Karena itu faktor persiapan tarbiyah ini tidak kalah penting dari usaha orang tua dalam mendidik anaknya setelah dilahirkan. Dan mentarbiyah diri sendiri merupakan bagian dari usaha untuk mentarbiyah anak – anak menjadi manusia yang baik. Orang yang berhasil mendidik dirinya, berpeluang besar untuk berhasil mendidik anak – anaknya. Jadi mendidik anak tidak menunggu memiliki anak terlebih dahulu, akan tetapi hal itu telah dimulai jauh sebelum anak dilahirkan, bahkan sebelum kita melangkah ke pernikahan. Inilah yang dimaksud mendidik anak sejak dini.



[1] Q.s Al Hijr : 28 - 29, Q.s Shad : 71.

[2] Javadi Amuli, Tafsir Insa be Insan, hal 169.

[3] Ali bin Hasan as, Shahifah Sajadiyah, hal 120.

[4] Ibn Babuyeh, Al Maqna li Shaduq, hal 306.

[5] Ibn Babuyeh, Man La Yahdharul Faqih, jild 3, hal 391.

[6] Kulaini, Al Kafi, jild 5, hal 327

[7] Tuhaful ‘Uqul, Jild 1, Hal 240.

[8] Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Babuye, Al Tauhid, Hal 356

[9] Amir Malak Mahmudi, Rahnema _e Khanevadeh, hal 165.

komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: