bayyinaat

Published time: 27 ,March ,2017      11:34:25
Diwajibkan bagi setiap Muslim untuk mendapatkan keyakinan dan keimanan berkenaan dengan Ushuluddin dan keteledoran dalam hal ini dapat menyebabkannya masuk ke dalam azab Ilahi yang abadi.
Berita ID: 64
Di permulaan pembahasan setiap risalah amaliah telah disebutkan bahwa seorang Muslim harus meyakini Ushuluddin (melalui pengetahuannya sendiri). Artinya, ia harus memiliki pengetahuan yang kokoh berkenaan dengan hal itu dan tidak dapat mencukupkan diri dengan ucapan orang lain.

Kesimpulannya, berdasarkan hukum akal dan panduan ayat dan hadis, diwajibkan bagi setiap Muslim untuk mendapatkan keyakinan dan keimanan berkenaan dengan Ushuluddin dan keteledoran dalam hal ini dapat menyebabkannya masuk ke dalam azab Ilahi yang abadi. Yang perlu kita camkan di sini, yang wajib adalah terwujudnya keyakinan dan keimanan tersebut, (bukan keyakinan yang harus diwujudkan melalui jalan dan cara tertentu). Dengan demikian, jika keyakinan tersebut terwujudkan dari jalan dan cara bagaimana pun, hal itu sudah sukup. Oleh karena itu, masyarakat kita dapat meyakini Ushuluddin mereka dari ucapan dan ajaran para ulama, mubaligh, guru dan bahkan, dari ucapan kedua orang tua mereka. Hal itu dikarenakan mereka mempercayai orang-orang tersebut dan sedikit pun tidak menyangka mereka akan berbohong. Hal ini sudah cukup meskipun mereka tidak dapat membuktikannya dengan argumentasi (yang kuat) dan tidak dapat menjawab kritikan-kritikan yang datang kepada mereka.

Mengapa Ushuluddin Bukan Masalah Taklid?

Alasan mengapa para ulama dan marja' taklid berasumsi bahwa taklid hanya diperbolehkan dalam hukum-hukum amaliah dan di dalam masalah Ushuluddin taklid tidak disahkan[1], dan bahkan sebagian dari mereka mengklaim ijma' atas hal itu adalah secara definitif, taklid adalah mengamalkan perintah seorang mujtahid, (menurut sebagian definisi, menerima ucapan orang lain secara ta'abbud, tanpa mengetahui dalinya) meskipun kita tidak mengetahui kenyataan sebenarnya. Padahal, ayat dan hadis-hadis[2] memiliki indikasi, dalam Ushuluddin harus terwujud sebuah keyakinan dan keimanan. Arti iman adalah kemantapan dan keyakinan hati. Dan arti iman ini kontradiksi dengan definisi taklid di atas.

Dengan kata lain, sesuatu yang dapat mendatangkan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat dan menyelematkannya dari cengkeraman siksa dan kesengsaraan adalah keyakinan hati dan keimanan yang kokoh. Sesuatu yang dapat membuatnya bisa mengambil manfaat dari keberadaan agama hanyalah keyakinan hati dan keimanan yang mendalam. Dan kondisi ini sangat berbeda dengan masalah taklid dan tidak dapat diwujudkan hanya dengan ucapan orang lain. Atas dasar ini, taklid-sesuai dengan definisi di atas, mengamalkan ketentuan seorang mujtahid atau menerima ucapan orang lain tanpa dalil dan secara ta'abbudi-tidak berlaku di sini.

Bahkan, layak kita camkan bahwa memperoleh sebuah keyakinan tentang Ushuluddin adalah sebuah keutamaan jiwa. Mengetahui dan meyakini (keberadaan) Allah dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, mengenal para hujjah Ilahi, perantara faidh dan pemimpin yang hak, mencari ilmu dan keyakinan tentang Ma'ad serta kembali kepada Allah adalah salah satu kesempurnaan jiwa manusia dan penyebab ia akan terselamatkan dari jurang kebodohan. Dan berdasarkan hukum akal, mendapatkan semua itu amatlah diharapkan, terpuji dan lazim.

Keyakinan Terhadap Allah Yang Maha Esa

أَفِي اللهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ

"Apakah dalam (keberadaan) Allah, Pencipta seluruh langit dan bumi terdapat keraguan?"[3]

Pengetahun dan pengakuan terhadap keberadaan Allah Ta'ala adalah sesuatu yang gamblang, dan orang-orang kafir sekalipun mengakui hal itu. Allah berfirman:

وَ لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ سَخَّرَ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ

"Dan jika engkau bertanya kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan seluruh langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan?', niscaya mereka akan berkata: 'Allah.' Lalu, betapakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)!"[4]

Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw diangkat menjadi nabi, beliau mengajak mereka kepada tauhid (pengesaan Allah), bukan kepada pengakuan terhadap keberadaan Allah.

Sumber pengakuan dan naluri ini adalah fitrah dan kemampuan batiniah yang telah diletakkan oleh Allah di dalam diri setiap manusia. "Fitrah Allah yang Ia telah menciptakan manusia sesuai dengannya."[5]

Ya! Allah telah meletakkan hakikat ini di dalam diri setiap manusia. Oleh karena itu, di dalam diri dan jiwanya ia merasakan tidak dibiarkan sendirian. Bahkan, ia (merasakan) memiliki hubungan langsung dengan sebuah Mabda` (Sumber Utama) yang selalu memeliharanya, membantunya dan mengawasi segala pemikiran dan kelakuannya, Sumber Utama yang menguasai seluruh dunia dan seluruh makhluk dapat tegak kerana-Nya.

Setiap orang yang mau merenungkan akan meyakini bahwa seluruh alam semesta ini mengikuti irama sebuah keteraturan dan

undang-undang. Dan karena keteraturan dan undang-undang inilah ia dapat memanfaatkan seluruh isi alam semesta ini; ia dapat bernafas, minum air, memakan tetumbuhan (yang dapat dimakan), dan menikmati sinar matahari.

Begitu juga ia memahami bahwa seluruh alam semesta ini bersumber dari satu kekuatan dan sumber utama dan dijalankan oleh satu kehendak. Sesuai dengan fitrah dan pemahaman ini, ia akan meminta pertolongan-Nya ketika ia memerlukan sebuah hajat, ia akan berlindung kepada-Nya ketika ditimpa sebuah kesulitan, dan ia menjalani kehidupan dengan penuh harapan ketika ia mendapatkan nikmat.

Dan kita maklumi bersama bahwa perasaan dan pemahaman semacam ini tidak bersumber dari kebodohan dan kelemahannya. Karena ketika seseorang-dari golongan apa pun ia berasal-melucutkan dirinya dari segala jenis teori ilmiah, keyakinan, dan adat-istiadat, dan mengasumsikan dirinya sebagai sebuah makhluk yang baru lahir pada saat ini sehingga ia belum pernah melihat siapa pun dan belum juga mendengarkan suara apa pun, apakah yang akan ia lihat ketika ia memperhatikan kepada diri dan alam sekitarnya? Ia akan mendapatkan dirinya sebagai makhluk yang memiliki mata, telinga, pemahaman dan kecerdasan yang hidup di sebuah pojok dunia ini.

Ketika ia memandang ke setiap penjuru, ia melihat dunia ini tidak berakhir. Ia melihat dunia ini begitu besar dan dirinya sangat kecil. Di bawah kakinya terhampar bumi yang penuh dengan segala keajaiban dan di atas kepalanya terbentang langit yang penuh dengan keanehan. Ia menyaksikan segala aktifitas dan gerakan di dunia ini. Ia melihat matahari dan bulan terbit dan terbenam, malam dan siang datang silih berganti dengan teratur, dan bulan dan musim-musim datang silih berganti dengan teratur dan perhitungan yang jitu. Ketika malam tiba, langit dipenuhi dengan bintang-gumintang yang berkelap-kelip indah. Ia melihat pepohonan yang biji asalnya sangat kecil dan dapat digenggam oleh tangannya. Akan tetapi, setelah beberapa waktu berlalu, biji kecil itu akan berubah menjadi sebuah pohon yang sangat tegar dengan ranting-rantingnya yang panjang, dedaunan dan kuncup bunganya yang berwarna-warni dan buah-buahannya yang beraneka ragam yang memiliki rasa dan bau yang dapat membangkitkan semangat dan selera. Ia melihat hewan yang memiliki bentuk, ukuran dan naluri yang beraneka-ragam. Ia melihat beberapa makhluk lahir ke dunia dan musnah kembali, hidup dan mati kembali. Ia menyaksikan aktifitas kehidupan dari pepohonan hingga manusia. Ia melihat keagungan dan seluruh perincian ciptaan dirinya. Ia menyaksikan sekujur tubuhnya, tulang-belulang dan segala jenis urat badan, keajaiban susunan tulang kepala, mata, telinga, wajah, alat pencernaan, sirkulasi darah, detak jantung, penciptaan tangan, jari-jemari, penyusunan anggota badan, pemasokan makanan dan bahan-bahan penting ke badan, alat reproduksi keuturnan, peran akal, syahwat, kekuatan khayal dan seluruh kekuatan yang tak terlihat di dalam dirinya. Secara tidak sadar ia akan berkata:

Wahai Dzat dari-Mu-lah segala sesuatu terwujud ** tanah yang lemah menjadi kuat karena-Mu.

Segala wujud di bawah naungan ilmu-Mu ** kami tegak karena-Mu dan Engkau tegak karena Dzat-Mu.

Dengan penuh pasrah ia akan berkata:

Wahai Dzat dari wujud-Mu wujud segala sesuatu ** serpihan dari wujud-Mu wujud segala sesuatu.

Tiadakan dan adakan, ada dan tiada ** selain diri dan ciptaan-Mu tiada.

Ya! Dalam kondisi seperti ini, seseorang dapat melihat satu kehendak, satu kehidupan, satu kekuatan, satu ilmu dan satu wujud hakiki yang memiliki semua sifat tersebut dan berperan sebagai ruh alam semesta ini dengan sepenuh hatinya. Ia melihat-Nya menguasai segala sesuatu, mengetahuinya, kuasa atasnya dan mengaturnya. Ia pun melihat dirinya sangat bergantung kepada-Nya meskipun ia tidak dapat memahami substansin-Nya dan tidak mengetahui rahasia penciptaan alam semesta dan dirinya. Akan tetapi, sebatas ini ia dapat memahami bahwa alam semesta ini memiliki seorang pencipta yang bernama Allah, dan ia juga memahami bahwa pemahaman semacam ini juga terdapat di dalam fitrah setiap maujud dan segala sesuatu dengan segala wujudnya sangat bergantung kepadanya, serta segala sesuatu dengan segala wujudnya mengakui keberadaannya. Dan secara naluri, mereka akan tunduk di hadapan keagungan-Nya dan menyembah-Nya.

وَ ِللهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ

"Dan hanya kepada Allah-lah segala yang berada di langit dan bumi sujud."[6]

إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

"Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal."[7]

Ya! Orang yang memiliki pemahaman dan akal, dengan sedikit perhatian, akan memahami bahwa seluruh alam semesta ini dipenuhi oleh kehidupan, perasaan, penglihatan dan pendengaran, dan seluruh makhluk bermunajat kepada Penciptanya melalui bahasa batin mereka, mengakui keberadaan-Nya, bertasbih dan menyucikan-Nya.

يُسَبِّحُ ِللهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَ مَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمِ

"Segala yang terdapat di langit dan bumi bertasbih kepada Allah, Raja Diraja Yang Maha Qudus, Perkasa dan Bijaksana."[8]

Di sinilah secara naluri seseorang memahami Pencipta dirinya dan selalu mencari-Nya. Dan tidak mungkin ia tidak mencari-Nya. Di sinilah ia akan bangkit untuk menghamba dan menaaati-Nya. Di sinilah meskipun ia adalah orang yang celaka dan zalim, ia pasti merintih di haribaan Allah-nya. Di sinilah kita harus memandang batin seseorang dan tidak hanya menghukumi lahiriahnya saja. Mungkin kita sangat zalim, tapi

Siang hari Musa di haribaan Maha Hak merintih ** malam hari Fir'aun pun menangis.

Di sinilah ia akan mencari seorang utusan-Nya dan ingin mempelajari cara menghamba dan menyembah-Nya darinya demi mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap-Nya dan mencegah diri untuk menentang-Nya.

Imam Shadiq as berkata:

وَجَدْتُ عِلْمَ النَّاسِ كُلِّهِمْ فِيْ أَرْبَعٍ: أَوَّلُهَا أَنْ تَعْرِفَ رَبَّكَ، وَ الثَّانِيْ أَنْ تَعْرِفَ مَا صَنَعَ بِكَ، وَ الثَّالِثُ أَنْ تَعْرِفَ مَا أَرَادَ مِنْكَ، وَ الرَّابِعُ أَنْ تَعْرِفَ مَا يُخْرِجُكَ مِنْ دِيْنِكَ

"Aku menemukan ilmu seluruh manusia dalam empat hal: pertama, hendaknya engkau mengenal Tuhanmu, kedua, hendaknya engkau mengenal apa yang telah Ia perbuat denganmu, ketiga, hendaknya engkau mengetahui apa yang Ia inginkan darimu, dan keempat, hendaknya engkau mengetahui apa yang dapat mengeluarkanmu dari agamamu."[9]

Amirul Mukminin Alias berkata: "Allah mengutus para rasul-Nya supaya mereka mengingatkan manusia akan tuntutan fitrahnya, mengingatkan nikmat Ilahi kepadanya, menyampaikan hujjah Ilahi kepadanya, membangkitkan rahasia-rahasia Ilahi yang tersembunyi di dalam dirinya, dan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Ilahi yang terdapat di bumi dan langit."[10]

(disadur dari buku Ringkasan Akidah Syiah, karya Ayatullah Fadhil Lankarani)



[1] Al-'Urwah al-Wutsqa, masalah ke-67.

[2] Allah berfirman: "Barangsiapa mengingkari Allah setalah keimanannya, (maka hal itu akan mendatangkan siksa) kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih memiliki keimanan (yang kokoh)." (QS. An-Nahl: 106) Dalam ayat yang lain Ia berfirman: "Orang-orang Arab Badui itu berkata: 'Kami telah beriman.' Katakanlah: 'Kalian belum beriman. Akan tetapi, katakanlah: 'Kami telah masuk Islam (pasrah diri), dan iman belum masuk ke dalam relung hati kalian'." (QS. Al-Hujurat: 14) Diriwayatkan dari Rasulullah saw sebaagi hadis yang mutawatir dari kedua mazhab: "Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia tidak mengenal imam pada zamanya, maka ia meninggal dunia seperti kematian Jahiliah." (Bihar al-Anwar, jilid 23, hal. 76-95)

[3] Surah Ibrahim: 10.

[4] Surah al-'Ankabut: 61.

[5] Surah ar-Rum: 30.

[6] Surah ar-Ra'd: 16.

[7] Surah Ali 'Imran: 188.

[8] Surah al-Jumu'ah: 1.

[9] Syeikh Shaduq, al-Khish?l, bab 4, hadis ke-87.

[10] Nahjul Balaghah, khotbah 1.

komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: