bayyinaat

Published time: 05 ,October ,2017      21:44:27
Pengorbanan Imam Husain as bukan hanya untuk kesempurnaan jiwanya, melainkan demi kesempurnaan masyarakat yang semestinya hidup dalam acuan ini. Yaitu hidup dan gerak masyarakat yang menuju kesempurnaan kehidupan Ilahiyah. Oleh karena itu, kita sebagai pengikutnya ... .
Berita ID: 79
MERAIH JIWA YANG TENANG

Ketenangan jiwa adalah sesuatu yang sangat berharga. Setiap orang mendambakan keadaan jiwa seperti ini dalam kehidupannya. Kebutuhan manusia terhadap ketenangan dan kenyamanan tidak mengenal waktu dan tempat. Hal ini selalu diperlukan setiap insan agar ia bisa merasakan kebahagiaan.

Pada zaman dahulu dan juga zaman modern ini, ketenangan jiwa selalu dicari. Hal ini terlihat dari sikap manusia dalam sepanjang sejarah kehidupannya. Manusia akan berusaha keluar dari masalah – masalah kehidupan dan mencari jawaban dari keresahan – keresahan jiwanya. Adapun faktor – faktor yang menyebabkan keresahan itu bermacam – macam. Ada yang resah karena harta, sehingga manusia membanting tulang untuk mencarinya. Ada pula yang resah karena wanita, karena itu mereka pun berusaha untuk mendapatkannya. Dan ada juga yang resah karena kedudukan, kehormatan, ketenaran dan lain sebagainya. Kemudian mereka pun mencarinya, sebagian orang berhasil mendapatkannya dan sebagian yang lainnya gagal. Akan tetapi bagi mereka yang mendapatkannya, ternyata semua itu tidak memadamkan kerisauan yang melanda diri mereka. Ada saja masalah – masalah lain yang mengkhawatirkan. Apalagi bagi mereka yang gagal meraihnya.

Untuk melupakan atau lari dari masalah – masalah tersebut sebagian orang mengambil hiburan, arak dan obat – obatan terlarang sebagai penawar sementara kerisauan hatinya. Dan bahkan tidak jarang yang memilih kematian sebagai jalan keluar. Karena itu kita mendapati diantara orang – orang besar yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Diantaranya adalah Chester Bennington, seorang musisi terkenal Amerika Serikat yang meninggal pada 20 Juli 2017 dengan gantung diri. Alan Turing, salah satu ilmuan terbesar Inggris abad ke – 20, seorang ahli Matematika, logika dan kriptografer dan juga terkenal dengan bapak ilmu komputer modern, Wallace Hume Carothers, seorang kimiawan Amerika Serikat yang namanya dikaitkan dengan penemuan nylon. Dan masih banyak lagi kisah tragis orang – orang besar yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.[1]

Begitulah nasib orang – orang yang mencari solusi ketenangan bukan pada sumbernya. Perlu kita pahami bahwa setiap akibat memerlukan sebab. Kegelisahan juga merupakan akibat yang memiliki sebab. Karena itu jika kita ingin menemukan penawarnya maka carilah sebabnya.

Allah swt menciptakan manusia dari dua unsur, jasmani dan ruhani. Jasmani atau badan manusia diciptakan dari tanah dan/atau sari pati tanah.

إِنِّي خالِقٌ بَشَراً مِنْ طينٍ... [2]وَ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طينٍ...[3]

"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah... Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati dari tanah.”

Sedangkan jiwa atau ruh manusia yang merasakan keresahan dan ketenangan adalah berasal dari Ruh – Nya. Sebagaimana ayat suci al Quran menjelaskan:

فَإِذا سَوَّيْتُهُ وَ نَفَخْتُ فيهِ مِنْ رُوحي‏ فَقَعُوا لَهُ ساجِدينَ.[4]

"Maka apabila Aku telah menyempurnakan penciptaannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh – Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”

Dari ayat di atas kita mengetahui bahwa jiwa manusia berasal dari – Nya, karena itu ia hanya akan tenang jika bersama – Nya. Dan hanya jiwa orang – orang beriman yang yakin dan dekat kepada Allah swt yang bisa merasakan ketenangan tersebut sebagaimana firman – Nya:

الَّذينَ آمَنُوا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ[5]

"Mereka adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.

Akan tetapi lebih jauh kita ingin mengetahui, mengapa hanya dengan mengingat dan bersama Allah swt jiwa menjadi tenang? Jawabannya ada pada ayat berikut:

يا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَراءُ إِلَى اللهِ وَ اللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَميدُ[6]

"Wahai manusia, kalianlah yang memerlukan (fakir) kepada Allah dan hanya Allah lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

Dengan mengkaji ayat tersebut, kita bisa menemukan bahwa sebab kerisauan jiwa adalah "kefakiran”. Fakir artinya serba kekurangan dan memerlukan. Sebagai contoh, seorang ayah akan sangat risau jika esok tidak ada makanan untuk anak – anaknya. Tidak ada tempat tinggal, tidak ada sekolah dan pendidikan, dan tidak ada masa depan.

Hal ini sangat mudah kita pahami, bahwa kerisauan yang timbul pada contoh di atas adalah karena kekurangan dan kefakiran. Kekurangan dan sifat memerlukan inilah yang menyebabkan manusia risau. Karena itu manusia akan berusaha sekuat tenaga untuk menambal kekurangan – kekurangan tersebut. Dengan harapan bisa menghilangkan kekhawatiran dan dapat hidup dengan tenang.

Akan tetapi Allah swt mengajarkan hakikat kefakiran dan kekurangan yang hakiki dalam firman – Nya di atas. Kefakiran yang menjadi sebab utama keresahan jiwa manusia dimana dan kapan pun berada. Tidak peduli apakah ia miskin atau kaya, berkulit hitam atau putih, pada zaman dahulu atau sekarang, dan bahkan muslim atau kafir. Kefakiran hakiki itu adalah "faqru al wujud”. Dimana manusia bukan hanya fakir terhadap harta dan segala hal yang berada di luar dirinya. Akan tetapi lebih dari itu, dia tidak memiliki wujud dan dirinya. Artinya manusia tidak ada, ia tidak memiliki apa – apa bahkan wujudnya sendiri. Allah swt berfirman:

وَ قَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَ لَمْ تَكُ شَيْئاً[7]

"Dan sesungguhnya Aku telah menciptakanmu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali”.

Allah swt pun menyebut sifat "faqru wujud” pada diri manusia dengan sesuatu yang belum bisa disebut. Dan tidak ada "sesuatu yang tidak dapat disebut” melainkan "ketiadaan.

هَلْ أَتى‏ عَلَى الْإِنْسانِ حينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئاً مَذْكُوراً[8]

"Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum berbentuk sesuatu yang dapat disebut?”

Inilah hakikat manusia, bahwa dia tidak memiliki apa – apa, bahkan dia sendiri adalah ketiadaan. Wujud yang kemudian ada bukanlah miliknya, melainkan pemberian dari Allah swt. Karena itu untuk menjadi ada dan melangsungkan keberadaannya, ia senantiasa memerlukan curahan wujud dari – Nya. Jika aliran wujud ini terputus dari sumbernya, maka manusia akan sirna seketika. Keadaan inilah yang menjadikan jiwa manusia selalu risau dan gelisah. Risau akan kehancuran dan kefanaan. Karena itu jiwa hanya akan tenang dalam dekapan – Nya. Karena Dialah sumber wujud yang menjadi sebab keberadaannya. Dan tidak ada jalan untuk meredakan kegelisahan jiwa ini selain mendekat dan menyatu dengan – Nya.

Jika kita telah menyadiri kefakiran wujud ini, maka kerisauan karena kefakiran harta dan segala wujud yang berada diluar diri kita akan mudah diatasi. Jangankan harta yang berada di luar diri kita, wujud diri ini pun bukan milik kita. Semuanya milik Allah swt. Karena itu jawaban dari semua keresahan adalah Dia, sumber segala wujud.

Kesadaran ini akan membawa manusia pada orientasi selain dunia. Dia tidak akan gila dengan harta dan mengejar dunia, sebab harta tidak akan membuat dirinya kaya dan tercukupi. Karena harta adalah wujud luar yang tidak akan pernah menyatu dengan dirinya. Akan tetapi yang akan memperkaya dirinya adalah ilmu, sifat – sifat terpuji dan amal shaleh yang harus selalu ia lakukan sehingga menjadi malakah[9] dan bagian dari dirinya.

Di saat ma’rifat dan sifat – sifat terpuji itu sudah menjadi dirinya dan tidak bisa terpisahkan darinya, maka saat itulah wujudnya menjadi luas, jiwanya menjadi besar dan sempurna. Dan kita mengetahui bahwa tidak ada kebaikan dan kesempurnaan kecuali dari – Nya. Artinya jiwa yang besar tersebut telah mendekati Allah swt melalui ma’rifat, sifat dan perbuatannya. Dekat dengan sifat – sifat kesempurnaan – Nya dan bahkan batasan wujud yang mengikatnya telah terbuka dan menyatu dengan keluasan samudra Wujud – Nya. Kini jiwanya bukan lagi anak sungai yang kecil namun telah menyatu dengan lautan yang luas tak terbatas. Inilah makna dekat dan fana dalam Dzat – Nya. Disaat itu jiwa telah menemukan tempat peraduannya, ia tenang di dekat dan dalam pelukan – Tuhannya.

Inilah makam dan kedudukan manusia sempurna yang mana wujudnya penuh dengan Asmaul Husna, manifestasi keindahan nama – nama Nya. Dan salah satu dari manusia sempurna itu adalah Imam Husain as yang mana Allah swt memanggilnya dengan sebutan "jiwa yang tenang”.

يا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعي‏ إِلى‏ رَبِّكِ راضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلي‏ في‏ عِبادي وَ ادْخُلي‏ جَنَّتي[10]

"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan – mu dengan hati yang puas lagi diridai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba – hamba – Ku dan masuklah ke dalam surga – Ku”.

Panggilan yang sangat mengandung makna. Jiwa yang tenang ini menunjukkan kesempurnaan yang telah dicapai oleh Imam Husain as. Karena jiwa manusia tidak akan tenang selama ia belum menemukan Tuhannya, belum dekat dengan – Nya dan belum jatuh dalam dekapan wujud – Nya.

Akan tetapi untuk sampai pada derajat "muthmainnah” ini tidaklah mudah. Semua Mashumin as mendapatkan ujian yang berat untuk membesarkan jiwa – jiwa mereka. Kesabaran atas pengkhianatan dan perampasan kekhalifahan Imam Ali as hingga tragedi Karbala menjadi hujjah yang tidak bisa dipatahkan. Kehidupan dan perjuangan mereka menjadi contoh nyata bagi kita bagaimana mencapai derajat keridhaan – Nya.

Pengorbanan Imam Husain as bukan hanya untuk kesempurnaan jiwanya, melainkan demi kesempurnaan masyarakat yang semestinya hidup dalam acuan ini. Yaitu hidup dan gerak masyarakat yang menuju kesempurnaan kehidupan Ilahiyah. Oleh karena itu, kita sebagai pengikutnya dituntut untuk mencontoh beliau untuk berjuang dan berusaha dalam memperkaya diri dengan ilmu dan ma’rifat serta sifat – sifat terpuji dan amal shaleh. Serta sabar dan gigih dalam menghadapi segala rintangan dan ujian yang ada. Sehingga jiwa kita menjadi luas dan mampu menampung lebih banyak curahan wujud, manisfestasi dari – Nya. Dan agama ini bisa tegak dalam diri kita dan kita bisa menjadi salah satu dari cermin para maksumin as dalam ilmu dan amal.[Hanif Fitriyani]



[2] Q.s Shad : 71.

[3] Q.s Mukminun : 12.

[4] Q.s Hijr : 29.

[5] Q.s Al Ra’d : 28.

[6] Q.s Fathir : 15.

[7] Q.s Maryam : 9.

[8] Q.s Insan : 1.

[9] Kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan, dengan kata lain menjadi karakter yang membangun dirinya.

[10] Q.s Al Fajr : 27 – 30.

komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: