Salah satu pemuka agung sejarah adalah Aqilah Bani Hasyim, garis silsilah wahyu, didikan keluarga suci Nabi saw, Raihanah Amirul Mukminin Ali as, Sayyidah Zainab Kubra as. Beliau memiliki nasab paling mulia, kedudukan paling agung, individu sempurna. Beliau merupakan suri tauladan terbaik untuk masyarakat sekarang ini, karena beliau merupakan kebenaran yang nyata dan jelmaan jihad di jalan Allah swt, penjaga iman dan ideologi, sang jawara lagi pemberani, manifestasi kesastraan dan kefasihan, penikam benteng-benteng kecongkakan, pembakar kebatilan dan pengobar kebenaran di hadapan tirani-tirani lalim, orang yang berlogika lurus dan benar, serta menerima kebenaran beliau merupakan hak yang tidak dapat dipungkiri lagi. Beliau merupakan manifestasi zuhud, wara', ilmu, kesucian dan kedermawanan. Aqilah Thahirah merupakan hasil didikan ibunda tercintanya Fatimah Az-Zahara as berhiaskan akhlak Islam, cahaya dan pelita hidayah, pembuka makrifat dan pengetahuan serta pengilham kebenaran dan pembela kesucian Islam.

Kelahiran

Sewaktu beliau lahir, Rasul saw menimang dan menggendongnya dan nama beliau dipilihkan dengan wahyu Ilahi, Zainab as. Jibril as, mengucapkan selamat atas kelahiran putri suci ini. Beliau adalah sebuah bunga yang tumbuh mekar di tengah-tengah taman wahyu dan keharuman beliau mengharumi lingkungan rumah Alawi serta menggembirakan Bani Hasyim.

Orang-orang yang hadir di rumah dengan takjub menyaksikan paras Rasul saw mengalirkan air mata dan raut muka beliau diselimuti dengan kesedihan dan kebahagiaan dimana menceritakan akan nasib dan ramalan-ramalan yang susah penuh derita yang menyeramkan, yang nantinya akan dihadapi oleh putri mulia ini.

Didikan dan Kepribadian

Zainab as terdidik melalui lima orang Ali 'Aba, dimana merupakan sebuah kebanggaan tersendiri dan kebanggaan ini jarang dimiliki oleh orang lain. Dan mungkin dapat dikatakan bahwa hanya beliau sajalah seorang putri yang telah mendapat didikan langsung dari Rasulullah saw, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, Sayyidah Fatimah Az-Zahra as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Beliau adalah 'Alimah ghair Muallamah (Alim tanpa diajarkan) dimana orang-orang dunia mendapatkan ilmu, kebijakan dan hikmah darinya dan mengambilnya. Beliau keluar dari sebuah madrasah dimana kecemerlangan ilmu dan akhlak serta ketinggian dan keberanian dan juga penolong kebenaran dilontarkan dari sana. Beliau keluar dari sebuah rumah dimana merupakan landasan iman dan langit kenabian, anugerah Ilahi turun disana dan mengharumi dengan aroma kesucian.

Beliau dalam kesucian dan hijab sampai pada batas dimana para tetangganya tidak pernah mendengar suaranya. Salah seorang non muhrim di siang hari tidak pernah melihat dan menjumpainya dan ketika malam tiba, beliau menyingkap tirai kegelapannya, sementara masyarakat tidur terlelap di keheningan malam, beliau bersama ayahanda tercintanya berziarah ke makam datuknya Rasulullah saw.

Beliau sejak kecil sudah mengenal apa arti kesedihan dan kesusahan. Beliau bersedih karena harus kehilangan datuknya Rasulullah saw pada umur lima tahun dan kesedihan ini belum sirna dari paras beliau namun beberapa bulan berikutnya beliaupun harus kehilangan ibunda tercintanya yang merupakan sumber makrifat dan pengajar ajaran-ajaran Ilahi.

Pernikahan

Sewaktu Zainab sudah mencapai umur pernikahan, ayahandanya Amirul Mukminin Ali as memilihkan seseorang yang memiliki kemuliaan keluarga, seorang suami yang layak dan pantas bagi dirinya. Diantara para peminang yang ada, maka Imam melihat Abdullah bin Ja'far lah yang paling pantas dan paling layak. Ayahnya Abdullah adalah Ja'far bin Abi Thalib yang mendapatkan gelar Dzul Janahain (yang memiliki dua sayap), Abul Masakin (ayahnya orang-orang miskin), serta saudara Amirul Mukminin Ali as dan kekasih Rasul saw. Dan pernikahan ini membuahkan hasil empat orang anak laki-laki yaitu; Ali, Muhammad, 'Aun dan Abbas dan dua orang putri.

Pernikahan beliau tidak memisahkan dan tidak menjadi penghalang antara dirinya dan ayahandanya serta dengan saudara-saudaranya. Imam Ali as sangat menjaga sekali keduanya sampai beliau menjadi pemimpin kaum muslimin dan datang ke Kufah. Kemudian Zainab dan Abdullah pun pindah ke Kufah. Kehidupan ini terus berlanjut, namun selang beberapa saat kemudian kesedihan Zainab pun bertambah lagi yaitu beliau harus menyaksikan kesyahidan ayahandanya di mihrab dan beberapa masa kemudian beliau menyaksikan kesyahidan saudara tercintanya, Imam Hasan as.

Hirjah Bersama Imam Husain

Dari kesyahidan saudaranya Imam Hasan as belum berselang enam tahun dimana Muawiyah secara terang-terangan – sepeninggalnya Imam Hasan as – menyeru untuk berbaiat kepada putranya, Yazid. Ada beberapa orang yang tidak mau memberikan baiat kepada Yazid, diantaranya adalah Imam Husain as. Dan beliau jalani kondisi ini selama empat tahun. Kemudian setelah kematiannya Muawiyah, Yazid menulis kepada gubernur Madinah supaya mengambil baiatnya Imam Husain as, akan tetapi Imam Husain as beserta saudarinya dan beberapa orang dari Bani Hasyim pergi ke Makah, tempat suci, dimana ini merupakan permulaan hijrahnya Zainab as bersama saudara dan syiah-syiahnya dan dalam perjalanan ini beliau menjadi seorang juru rawat yang selalu menyertai saudaranya Imam Husain as sehingga beliau dijuluki sebagai sandaran atau tulang punggung saudaranya dalam menghadapi segala macam problematika. Beliau dalam rangka membela saudaranya, telah mengorbankan putranya, 'Aun dan Muhammad.[1]

Beliau dalam semua peristiwa Karbala adalah sebagai pembantu dan penolong saudaranya, Imam Husain as dan dalam semua kedukaan-kedukaan dan kesukaran hari Asyura laksana gunung yang kokoh dan beliau mengemban semua kesedihan yang ada, sehingga sampai pada masa kesyahidan buah hati Rasul saw dan kesayangan ibundanya Fatimah Az-Zahra as yaitu Imam Husain as dan ketika berpisah dengan tubuh tanpa kepala saudaranya, beliau meratap histeris sampai-sampai Urwah bin Qais Tamimi mengatakan: "Jika saya melupakan segala sesuatu, namun saya tidak akan melupakan perkataan-perkataan Zainab, putri Fatimah as yang mana pada waktu itu berbicara dengan saudaranya Husain as.[2] Demi Allah, setiap pecinta dan musuh ketika mendengar ucapan Zainab pasti akan menangis.”[3]

Pemimpin Karavan Para Tawanan

Paling pentingnya kondisi dari kondisi wanita agung Karbala ini adalah memimpin para Karavan para tawanan dan menyampaikan misi dan pesan-pesan Karbala. Dan jika tidak ada Zainab as maka dapat dipastikan bahwa tragedi Karbala tidak akan utuh seperti sekarang ini.

Setelah Karavan memasuki Kufah dan kemudian ke Syam, Zainab dalam beberapa tempat dan kesempatan yang beragam mengutarakan segala kekejian dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Yazid, Ibnu Ziyad dan anak buahnya dan beliau mulai menyampaikan risalah yang diemban oleh dirinya mengenai Asyura dan Imam Husain serta agama Islam, diantaranya adalah yang telah beliau lakukan di dalam majelis Ibnu Ziyad dan Yazid.

Setelah Yazid tunduk di hadapan manusia-manusia suci seperti Imam Sajjad as yang merupakan satu-satunya kenangan Asyura dan Imam keempat bersama Zainab as dan menerima permintaan beliau yaitu dikembalikanya para tawanan ke Madinah[4], maka untuk kesekian kalinya para tawanan pun melakukan perjalanan, akan tetapi kali ini menuju ke Makam suci Rasul saw dan Zainab membawa musibah dan beben yang sangat berat menuju makam suci Nabawi dan beliau sangat berduka cita sekali ketika berada di atas pusara Rasul saw. Oh... Sungguh sangat menderita sekali Zainab dan Ahlulbait Nabi saw dan orang-orangpun mengetahui akan kondisi Ahlulbait Nabi suci.

Wafat

Beliau hidup kurang lebih dari satu setengah tahun setelah kesyahidan saudaranya Imam Husain as[5] dan sepanjang satu setengah tahun ini beliau semaksimal mungkin untuk menghidupkan tragedi Karbala dan epik Asyura di benak-benak masyarakat dan menyadarkan masyarakat akan kedalaman tragedi Karbala ini dan pada akhirnya beliaupun meninggal dunia. Dan kuburan beliau dimana merupakan kubur para pecinta kebenaran dan hakikat, sesuai dengan riwayat yang masyhur berada di Damaskus.[6]