bayyinaat

Published time: 24 ,February ,2017      11:37:29
Setiap pekerjaan atau perbuatan baik, mau itu dalam bentuk ibadah yang termulia atau dalam bentuk amalan sosial, jika hal-hal tersebut kosong dari tujuan dan dorongan ilahi maka hal-hal itu tidak bernilai dan hilang terbang dibawa angin.
Berita ID: 28

Kejujuran dan kebenaran adalah dua karakter manusia yang sangat tinggi dan sangat mulia, dimana ajaran Islam mengenal martabat manusia dan kemakmurannya dari bidang yang sangat dasar. Amirul Mukminin As, seorang pemimpin yang jujur ​​dan saleh memperkenalkan kejujuran sebagai sifat termulia dan kualitas tertinggi dan juga menjelaskan bahwa kejujuran adalah sebagai dasar dari setiap reformasi individual dan sosial dengan sabdanya:

اَلصِّدْقُ صَلاحُ کُلِّ شَیْ ءٍ[1]

Kejujuran adalah penyebab reformasi segala sesuatu.

Untuk meniti jalan kejujuran dan penggunaan cara-caranya, memahami berbagai dimensi dan pencakupannya adalah hal yang sangat penting. Ketika kita mengetahui sejauh mana cakupan kejujuran ada dalam bidang apa saja, tentu dengan mengenali cara-cara penggunaannya, tentu akan lebih mudah bagi kita untuk meerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam buku-buku akhlak, masalah kejujuran, dari sisi jenis dan tingkatannya telah dijelaskan dengan sempurna yang pada kesempatan ini kita akan mengkajinya bersama-sama.

1. Jujur dalam Perkataan

Berkata jujur dan tidak mengucapkan hal-hal yang di luar dari kenyataan, adalah bagian pertama dari jenjang dan tingkat sebuah kejujuran. Jika apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan apa yang ada di luar, maka kunci kebahagiaan berada padanya yang telah ia ambil dan ia bawa.

Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah Saw kita bisa membacanya:

وَ قَالَ رَجُلٌ لَهص عَلَّمَنِی یَا رَسُولَ اللهِ خِصلَةٌ تَجمَعُ لِی خَیرُ الدُّنیَا وَالآخِرَةِ قَالَ لَاتَکذِب[2]

Seseorang berkata kepada Nabi Saw, Ya Rasulallah, ajarkan aku sebuah sifat yang mengumpulkan aku kebaikan dunia dan akhirat, Nabi menjawab: jangan kamu berdusta.

Dalam pandangan Amirul mukminin Ali As juga dikatakan bahwa selamatnya agama dan dunia dijamin dalam pandangan kejujuran.

عاقبَةُ الصدق نجاةٌ و سلامة.[3]

Akhir dari kejujuran adalah keberhasilan dan keselamatan. Begitu juga keagungan dan kekukuhan seorang bani adam berada dalam naungan kejujuran.

Dalam sabdanya yang lain:

مَنْ صَدَقَ فِی اَقْوالِهِ جَلَّ قَدْرُهُ [4]

Seseorang yang jujur dalam ucapan dan perkataannya, kedudukannya akan agung dan bernilai.

Beliau juga bersabda:

مَنْ صَدَقَ مَقالُهُ زادَ جَلالُهُ [5]

Siapa saja yang ucapannya jujur dan benar, akan bertambah keagungannya.

Merenungi riwayat-riwayat semacam ini, telah memaksa seorang muslim yang berkeyakinan dan komitmen untuk mengkaji dalam perkataan-perkataan, tulisan-tulisan dan segala sesuatu yang berkenaan dengan apa saja yang akan disampaikan kepada siapa saja yang mendengar. Baik percakapan dan penyampaian itu kepada manusia atau kepada selainnya yaitu di saat kita beribadah dan yang diajak bicara adalah Tuhan.

Dengan demikian, orang-orang yang secara elit memahami agama dan mereka yang imannya sudah cukup mendalam, ketika menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang mereka gunakan baik dalam salat dan munajatnya dengan Tuhannya atau ketika mereka bertawasul dan menggungkapkan keinginan-keinginan mereka, mereka memandangnya dengan pandangan suci agama, mereka memandang dengan pandangan yang baik sehingga apa yang mereka ungkapkan di sisi Tuhannya yang agung adalah sesuatu yang benar dan bukan hanya sekedar pengakuan dusta yang semua itu dapat mereka lakukan.

2. Jujur dalam Perbuatan

Terkadang ucapan dan perkataan yang disampaikan oleh seseorang adalah jujur, benar dan sesuai dengan kenyataan. Namun amal dan perbuatannya tidak sesuai dengan apa yang dia katakan; yaitu perbuatan dan amal yang keluar darinya tidak seperti perkataan yang keluar dari mulutnya. Orang yang demikian itu tidak jujur dalam perbuatannya, jujur dalam perkataan namun tidak jujur dalam perbuatan. Orang yang demikian sangat dicela oleh Al-Qur’an, sebagaimana firmannya:

یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ کَبُرَ مَقْتا عِنْدَ اللّه ِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ.[6]

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.

Orang-orang yang jujur adalah orang-orang yang antara apa yang dia katakan dan apa yang dia lakukan itu sama, tidak ada bedanya, baik di depan khalayak atau di dalam kesendiriannya dan bukan termasuk dari orang-orang yang dalam kesendiriannya melakukan hal-hal yang lain yang tidak sepatutnya dia lakukan dan sebaliknya. Oleh karena itu, Amirul Mukminin, Ali As bersabda:


اَیُّهَا النّاس، اِنّی واللّهِ ما اَحُثُّکُم عَلی طاعَةِ الاّ وَأسْبِقَکُمْ اِلَیْهَا، ولاَ أنْهَا کُمْ عَنْ مَعْصِیَةٍ اِلاّ وَأتَنَاهی قَبْلَکُمْ عَنْهَا.

Wahai masyarakat, demi Allah, sesunggunya aku bersumpah, aku tidak menganjurkan kalian untuk berbuat taat, kecuali sebelum kalian aku telah melakukannya dan aku tidak melarang kalian untuk melakukan maksiat kecuali aku terlebih dahulu menjauhinya.[7]

Menurut pandangan Amirul Mukminin, Ali As, setiap orang dalam situasi apapun, dalam jabatan apapun dia, baik dia seorang juru bicara, seorang penulis, seorang pendidik, guru ataupun dia seorang kepala sekolah atau rektor universitas sekalipun, maka jika dia menghendaki kejujuran, apa saja yang dia katakan itu diperhatikan oleh bawahannya maka bukan hanya dia mengamalkan apa yang dia katakan dan apa yang dia perintahkan, bahkan dia sudah harus lebih dahulu mengamalkan hal itu sebelum dia mengatakannya.

کُونُوا دُعَاةً للنّاسِ بِالخَیرِ بَغَیْرِ اَلْسِنَتِکُمْ، لِیَرَوُا مِنْکُمْ اَلاِجْتِهادَ والصِّدقَ والوَرَعَ

Ajaklah masyarakat dalam kebaikan dengan selain lidahmu, sehingga mereka melihat dari kalian usaha, kejujuran dan ketakwaan.[8]


3. Jujur dalam Pikiran

Dorongan dan pikiran untuk amal dan perbuatan seorang manusia adalah perumpamaan jiwa untuk tubuh. Dasar sebuah pekerjaan berada dalam niat dan pikiran seseorang sedangkan amal dan perbuatan seseorang pada dasarnya bermula dari niatnya.[9] Dengan demikian,

الاعمال ثمار النیات.[10]

Amal seseorang adalah hasil dan buah dari niat yang ia keluarkan.

Nilai dan ukuran amal seseorang tidak hanya bergantung pada pemikiran dan wacana yang membuatnya terpaksa bergerak, bahkan harga dan nilai seseorang sesuai dengan kadar pemikiran dan niatnya yang ada di kepalanya dan untuk mendapatkan hal tersebut maka ia berusaha. Imam Ali berkata:

قَدْرُ الرَّجُلِ عَلَی قَدْرِ هِمَّتِهِ وَ عَمَلِهِ عَلَی قَدْرِ نِیَّتِهِ.[11]

Nilai dan ukuran seseorang sesuai dengan kadar usahanya dan amalnya sesuai dengan niatnya.

Pemikiran dan wacana begitu mempengaruhi seseorang sehingga hal itu dapat berpengaruh dalam pembentukan dan penentuan kepribadian seorang manusia sehingga seseorang di hari kiamat nanti akan dibangkitkan dan dikumpulkan sesuai dengan gambaran niatnya. Imam Shadiq As bersabda:

إِنّ اللهَ يَحشُرُ الناسَ عَلي نِيّاتِهم يَومَ القِيامَةَ[12]

Ada juga sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw.

اِنّ الله لايَنظُرُ الي صُوَرِكُم وَ اعمالِكُم وَ اِنّما يَنظُرُ اِلي قُلوبِكُم و نِيّاتِكم. [13]

Bahwa sesungguhnya Allah Swt tidak akan melihat pada bentuk amal-amal zhahir kita tetapi Allah akan melihat apa yang ada pada hati kita dan niat kita.

Dengan demikian, seorang manusia yang ingin mendapatkan pada inti yang berharga dari kejujuran ini, selain dia harus jujur dalam perkataan, dia juga harus menerapkan apa yang semestinya dia katakan dalam perbuatan dan tingkah lakunya dan itu diniatkan dari dalam hati bukan karena hal-hal yang lain. Karena niat yang benar-benar keluar dari dalam hati adalah muqaddimah dan pendahuluan dari kejujuran dalam ucapan dan perbuatan. Hingga imam ke tujuh Imam Musa Kazim As ketika berkata kepada Hisam bin Hakam, beliau berkata tentang kejujuran dalam niat sebagai ruh keimanan dan ruh agama:

کَمَا لایَقُومُ الجَسَدُ اِلاّ بِالنَّفْسِ الْحَیَّةِ کَذلِکَ لایَقُومُ الدِّینُ اِلاّ بِالنِّیَةِ الصَّادِقَةِ وَ لاتَثبتُ النِّیَةُ الصَّادِقَة اِلاّ بِالعَقلِ؛[14]

Sebagaimana tubuh ini tidak akan bertahan kecuali dengan nafas kehidupan, begitu pula agama ini tidak akan langgeng kecuali dengan niat yang jujur dan tidak akan kokoh niat yang jujur itu kecuali dengan akal.

Sehingga niat yang muliapun seperti hijrah, jihad dan syahadah jika tidak dibarengi dengan niat dan dorongan ilahi maka hal itu adalah perbuatan yang sangat sia-sia.

Dalam riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw di sana di sebutkan bahwa

اِنَّمَا الاْعْمالُ بِالنّیّاتِ وِ اِنَّمَا لِکُلِّ اِمْرَئٍ ما نَوی فَمَنْ کَانَ هِجْرَتُهُ اِلَی اللّهِ وَ رَسوُلِهِ، فَهِجْرَتُهُ اِلَی اللّهِ وَ رَسوُلِهِ وَ مَنْ کَانَ هِجْرَتُهُ اِلَی دُنْیا یُصِیبُهَا اَوْ اِمْرَأةٍ یُنْکِحُها، فَهِجْرَتُهُ اِلَی مَا هاجَرَ اِلَیْهِ.[15]

Dengan demikian, setiap pekerjaan atau perbuatan baik, mau itu dalam bentuk ibadah yang termulia atau dalam bentuk amalan sosial, jika hal-hal tersebut kosong dari tujuan dan dorongan ilahi maka hal-hal itu tidak bernilai dan hilang terbang dibawa angin. Dan sebaliknya perbuatan dan amal seseorang yang dibarngai dengan tujuan dan dorongan ilahi walupun itu mungkin dalam pandangannya adalah hal itu dianggap kecil maka itu akan kekal dan agung karena dilakukan dengan kejujuran, berakhlak dan memiliki niat mendekatkan diri kepada Allah swt maka hal itu akan menjadi besar di sisiNya.

وَ تَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَ هُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظيمٌ [16]

Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.

Hasil dari kejujuran adalah tangga naik ke maqam Shiddiqin

Dengan sebab kejujuran dan kebenaran, seorang manusia akan naik dan sampai pada tingkat maqam Shiddiqin (dimana maqam ini dari sisi keutamaan dan kemuliaannya berada setelah maqam nubuwah atau kenabian) dan di sisi Allah Swt akan mendapatkan gelar dengan penuh kebanggaan yaitu maqam shiddiq. Imam Baqir dalam sebuh riwayat bersabda:


اِنَّ الرَجُلَ لَیُصَدِّقَ حَتّی یَکْتُبُهُ اللّهُ صِدِّیقا.[17]

Sesungguhnya seseorang karena efek kejujuran dan kebenaran akan sampai pada satu martabat yang mana Allah akan menyebutnya dengan Shiddiq.

Maqam shiddiq adalah maqam sirathal mustaqim dimana setiap muslim dalam setiap solat mereka mengucapkan

«اهدنا الصراط المستقیم صراط الذین انعمت علیهم...»

Dari Allah mereka meminta dan memohon untuk ditunjukkan jalan hidayah. Orang-orang yang mendapatkan kenikmatan ilahi ini adalah hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh setiap muslim, mereka adalah orang-orang yang dikatakan dalam Al-Quran,

وَمَنْ یُطِعْ اللّه َ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَئِکَ مَعَ الَّذِینَ أَنْعَمَ اللّه ُ عَلَیْهِمْ مِنْ النَّبِیِّینَ وَالصِّدِّیقِینَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِینَ وَحَسُنَ أُوْلَئِکَ رَفِیقا. [18]

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Imam Ali adalah wujud kesempurnaan dari manifestasi kejujuran sehingga dalam sebuah riwayat dikatakan:

و من الصدیقین علی بن ابی طالب... [19]

Dengan demikian, permintaan dan permohonan kaum muslimin dalam setiap salat mereka untuk berada dalam jalan yang lurus adalah sesuai dan sama dengan ayat yang lain. Allah berfirman:

یَا اَیُّهَا الذِینَ امَنوُا اِتَّقوُا اللّهَ وَ کوُنوُا مَعَ الصَّادِقیِنَ [20]

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.

Kembali kepada pembahasan awal, maka dengan ini dapat kami ringkas dalam sebuah riwayat:


مَنْ لَمْ یَخْتِلفْ سِرُّهُ وَ عَلانیِتُهُ وَ فِعْلُهُ وَ مَقَالُهُ فَقَدْ اَدّی الاْمَانَةَ وَ أَخْلَصَ اَلْعِبَادَةَ. [21]

Siapa saja dari mereka yang tidak berbeda dalam prilaku amalnya baik dalam keadaaan dilihat orang atau di dalam kesendiriannya, dalam perbuatan dan ucapannya, maka dia telah menjalankan amanat ilahi dan telah benar-benar ikhlas dalam menjalankan ibadah kepadaNya. [Haidar Yusuf]




[1]- Tamimi Amadi, Abdul wahid bin Muhammad, Ghurar al-Hikam wa Duraru al-Kalam, Mukaddimah dan penjelasan, Mir Jalaluddin Husaini Armui, (cetakan kelima, Tehran, terbitan Universitas Tehran 1373S) jld. 2, hlm.371.

[2]- Qummi, Syaikh Abbas, Safinatu al-Bihar, Yayasan penerbitan Farahani, jld.2, hlm. 473.

[3]- Ghurar al-Hikam wa Duraru al-Kalam, jld.4, hlm. 363.

[4]- Ibid, jld.4, hlm.296.

[5]- Ibid, jld.5, hlm.278.

[6]- QS.Shaf, ayat, 2-3.

[7]- Nahjul Balaghah Subhi Shaleh, khutbah 175.

[8]- Ushul Kafi, jld. 2, hlm. 86.

[9]- Ghurar al-Hikam, jld.1, hlm. 206; lihat juga: Qummi, Syaikh Abbas, Safinah al-Bihar, jld.2, hlm.628.

[10]- Ibid, jld.1, hlm.79.

[11]- Ghurar al-Hikam, jld.4, hlm. 500.

[12] Wasail al-Syiah, jld.1, hlm.34.

[13] Bihar al-Anwar, Beirut, Muasasah al-Wafa’, jld.70, hlm.248; Jami’ al-Akhbar, hlm.117.

[14] Ibid, jld.78, hlm.312.

[15] Bihar al-Anwar, jld.7, hlm.211; Shahih Bukhari, Kitab al-Iman, hlm.23.

[16]- QS.An-Nur, ayat 15.

[17]- Ushul Kafi, jld.2, hlm.86.

[18]- QS. An-Nisa’, ayat 69.

[19]- Syawahid al-Tanzil, jld.1, hlm.154.

[20]- QS. At-Taubah, ayat 119.

[21]- Nahjul Balaghah, surat 26.

komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: