bayyinaat

Published time: 28 ,February ,2017      00:43:45
Hasan Yusufian & Ahmad Husain Sharifi
Sepanjang sejarah, orang-orang yang telah sekian lama merenungkan sangkaan peran dirinya dan keberadaan alam semesta, nyatanya tak mampu memahami apapun selain merujuk ke wahyu Ilahi. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan sejumlah peran dan kontribusi agama terhadap akal sebagai berikut.
Berita ID: 36

Kalangan rasionalis radikal meyakini bahwa keberadaan akal tak lagi menyisakan pada manusia kebutuhan apa pun kepada wahyu. Anggapan semacam ini jelas tidak berdasar dan sangat primitif. Telah dicatat cukup tebal, betapa mentah dan dangkal kalau saja dipercayai pemetaan jalan kebahagiaan itu bisa hanya dengan akal; tanpa merujuk ajaran para nabi. Sepanjang sejarah, orang-orang yang telah sekian lama merenungkan sangkaan peran dirinya dan keberadaan alam semesta, nyatanya tak mampu memahami apapun selain merujuk ke wahyu Ilahi. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan sejumlah peran dan kontribusi agama terhadap akal sebagai berikut.

Menjelaskan Keterbatasan Akal

Satu dari peran terpenting agama atau wahyu adalah menjelaskan kekurangan dan keterbatasan akal. Agama meliputi seluruh dimensi dan potensi berpikir manusia. Karenanya, agama juga kerap mengingatkan soal keterbatasan akal agar manusia tidak sampai gegabah dan menerawangi ranah yang pada hakikatnya mustahil dijamah akal. Para kekasih Allah, misalnya, melarang manusia berpikir tentang Dzat Allah yang, dalam ilustrasi mereka, bagai samudera dalam yang tak terselami. Sebagai gantinya, mereka mengimbau manusia untuk menjajaki permukaan dan merenungkan ciptaan-Nya. [1]

Tentang rahasia Al-Haq dan hakikat-Nya dalam wujud

Manakah yang lebih jauh dari paham dan saksi.[2]

Mengarahkan pada Objek

Sekadar punya karunia ‘akal’ untuk menghimpun pemikiran yang berguna dan produktif tidaklah memadai. Betapa banyak aktivis akal yang menyalahgunakannya: alih-alih meniti jenjang lintas malaikat, malah terhempas lebih hina di bawah binatang.

Salah satu bentuk kontribusi wahyu untuk akal ialah memfasilitasi akal dengan materi dan objek aktivitas rasional yang terarah dan bermanfaat. Para nabi datang guna menghidupkan dan memberdayakan akal manusia. [3]

[Para nabi diutus] untuk menggali janji fitrah-Nya, mengingatkan mereka perihal seluruh nikmat-Nya ... dan membongkar hazanah-hazanah terpendam akal untuk mereka.

Kalau saja tak ada gugus pergerakan dan risalah para nabi, niscaya sistem-sistem filsafat insani sekalipun tak akan mampu mengatasi persoalan hidup dan nasib umat manusia.

Akal tak lain dari sekadar akal penalar

hanyalah penadah disiplin ilmu dan pengemis. [4]

Akal ini bisa diajarkan dan dipahamkan

namun dialah yang justru diajari pemilik wahyu.

Dengan mengemukakan tema-tema seperti eksistensi Allah, tauhid, kenabian, keabadian ruh, ikhtiar, dan lainnya, agama wahyuni mengarahkan pikiran manusia. Darinya dapat dipahami bila salah memilih agama atau terjadi perubahan dan penyimpangan di dalamnya, maka korban pertama yang jatuh karenanya adalah akal manusia. Contoh, kalau saja seorang pendeta Nasrani tidak meyakini doktrin trinitas, reinkarnasi, atau lainnya, sebagai ajaran wahyu, dia tidak akan tahan—dalam upaya menuntaskan solusi sekian doktrin itu—menanggung beban penderitaan intelektual dua ribu tahunan, tidak pula akan siap barang sesaat menghabiskan umurnya untuk itu. [5]

Menunjukkan Rincian Jalan

Akal meyakinkan manusia sebuah nuktah, bahwa penciptaan dan keberadaannya tidak sia-sia; dia didatangkan ke dunia dalam rangka menempuh jenjang kesempurnaan mutlak dan meraih keselamatan abadi. Akal juga mampu memahamkan bahwa untuk tujuan itu, manusia harus mengerjakan apa pun yang diridhai Tuhan dan menghindari yang dibenci-Nya. Namun, akal akan berhenti lemah sampai batas menyingkap rincian dan seluk-beluk parsial jalan keselamatan itu; batas yang tak sanggup dilampauinya. Hanya dengan arahan wahyu, manusia bisa mengetahui rincian seluk beluk perjalanannya dan cara menempuhnya. Tanpa petunjuk wahyu, akal bukan lagi mitra manusia yang sepatutnya menerangkan aneka hubungan tutur dan perilakunya di dunia ini dengan pengaruh dan dampaknya di akhirat sana.

Kalau saja orang usil tahu keutamaannya

entah kapan Tuhan ‘kan utus sekian rasul.

Akal hadapkan pemiliknya pada tabib

tanpa tabib, akalnya racun ketimbang obat. [6]

Menunjukkan Kekeliruan Berpikir

Kontribusi berharga lain dari wahyu untuk akal ialah menunjukkan kekeliruan berpikir, seperti halnya telah diulas sebelum ini.

Yang patut dicatat, kategorisasi peran dan konstribusi agama di atas tidak berarti bahwa agama memaksakan satu pola berpikir ke atas penganutnya, sehingga dengan demikian, ia berusaha memperlakukan aktivitas rasional dalam kerangka penghambaan dan bagian dari produk sistem hukumnya yang wajib ditaati (ta‘abbudî). Jika asumsi ini dipertahankan, bukan hanya kehilangan substansinya, ‘berpikir’ dan aktivitas rasional apa pun tidak lebih dari sekadar nama saja.

Pada dasarnya, di balik kategorisasi itu, agama hendak memberikan fasilitas pengarahan dan bimbingan kepada akal, dan menyingkap realitas yang terselubung di hadapan mata akal.



[1] Kulaini: Al-Kâfî, jld. 1, hlm. 93; Hurr Amili: Wasâ’il Al-Syî‘ah, jld. 16, "Kitab al-amr bi al-ma'ruf, abwab al-amr wa al-nahy”, bab 23, hlm. 195.

[2] Jalaluddin M. Balkhi: Matsnavi-e Ma'navi, daftar III, bait ke-3651.

[3] Nahj Al-Balâghah, khotbah ke-1, hlm. 3.

[4] Jalaluddin M. Balkhi: Matsnavi-e Ma'navi, daftar IV, bait ke-1295-1296.

[5] M. Fana'i Eskavari: Ma’refatsyenosi-e Din, hlm. 126.

[6] Jalaluddin M. Balkhi: Matsnavi-e Ma'navi, Daftar IV, bait 3318-3323.

komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: