bayyinaat

Published time: 24 ,January ,2017      17:28:33
Haidar Sutiawan
Al-Qur’an dan tafsir adalah dua dunia yang berbeda. Al-Qur’an adalah sebuah teks, dan tafsir adalah sebuah teks tersendiri. Al-Qur’an adalah satu, tetap sejak dulu sampai sekarang. Dengan teks al-Qur’an yang satu itu, dunia tafsir memberi pemaknaan yang berbeda-beda sehingga tafsir menjadi teks tersendiri. Teks tafsir berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman, teori, metode dan teknik yang digunakan. Dengan demikian ilmu tafsir membentuk dunianya sendiri yang jauh berkembang dari teks al-Qur’an.
Berita ID: 9
Bab I. PENDAHULUAN

a) Latar Belakang Masalah

Al-Quran mempunyai peran sebagai kitab petunjuk. Ia mempunyai bahasa yang demikian memesona, redaksinya yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung. Ia mampu mengantar kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum kepadanya. Sebagai kitab petunjuk, al-Quran, menjadi salah satu sumber pegangan oleh orang-orang muslim. Oleh karena itu, pengkajian terhadap al-Qur’an menjadi sebuah keharusan, dan tafsir adalah salah satu bentuk kajian untuk mengetahui kedalaman sumber pengetahuan, yaitu al-Qur’an.

Al-Quran dan tafsir adalah dua dunia yang berbeda. Al-Quran adalah sebuah teks, dan tafsir adalah sebuah teks tersendiri. Al-Qur’an adalah satu, tetap sejak dulu sampai sekarang. Dengan teks al-Qur’an yang satu itu, dunia tafsir memberi pemaknaan yang berbeda-beda sehingga tafsir menjadi teks tersendiri. Teks tafsir berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman, teori, metode dan teknik yang digunakan. Dengan demikian ilmu tafsir membentuk dunianya sendiri yang jauh berkembang dari teks al-Quran.

Kembali pada al-Quran sebagai salah satu objek yang dikaji untuk mendapatkan pengetahuan, baik Muslim maupun non-Muslim mengkajinya. Dari pengkajian al-Quran menghasilkan pemahaman yang membentuk sebuah kajian ilmu sendiri. Dari pemahaman terhadap al-Quran dengan tafsir, banyak melahirkan ilmu lain, seperti ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu tafsir, dan lainnya.

Berkenaan dengan ilmu-ilmu yang hadir dari pengkajian al-Quran, itu semua tidak terlepas dari penafsiran tentang ayat-ayat al-Quran. Ada dua cara yang sering digunakan dalam menafsirkan al-Quran, yaitu metode bil-Riwayah atau Ma’tsur dan bil-ra’y.

Pengertian tafsir sendiri menurut bahasa adalah suatu keterangan, penjelasan, atau uraian resmi mengenai sesuatu yang belum jelas. Kata tafsir berasal dari kata "al- fasr” yang berarti "menjelaskan atau mengungkapkan”. Ada pula yang mengatakan bahwa tafsir adalah menjelaskan makna sesuatu yang dapat dipikirkan. Orang yang menafsirkan disebut dengan mufassir, dan hasil dari yang ditafsirkan penulis menyebutnya dengan penafsiran.

Lahirnya mazhab-mazhab hukum (fiqh) dan teologi (ilmu kalam) Islam yang berbeda-beda merupakan hasil dari metode tafsir yang beragam terhadap al-Qur’an. Sebuah pertanyaan bagi kita, ketika kita menikmati hasil dari penafsiran al-Qur’an (pengetahuan yang digali dari al-Qur’an), apakah pernah kita menanyakan tentang keilmiahan dari ragam metode penafsiran. Alangkah mengherankan, ketika kita menikmati pengetahuan tentang penafsiran al-Qur’an bahkan menjadikannya sebagai rujukan pada setiap amal perbuatan kita, akan tetapi kita tidak mengetahui tentang kebenaran dari pengetahuan tersebut secara ilmiah.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa sebagian besar kelompok menganggap suatu pengetahuan dapat diidentifikasi bahwa ia ilmiah atau tidak. Olehnya itu, kita seharusnya mengetahui penafsiran pada al-Qur’an ini, khususnya penafsiran dengan metode bil-ra’y, apakah bersifat ilmiah atau non-ilmiah. Mengingat bahwa penafsiran telah menjadi sebuah pegangan atau rujukan bagi manusia – khususnya masyarakat muslim – yang ingin mempelajari al-Qur’an lebih mendalam. Kendati demikian, tulisan ini mungkin tidak bisa mewakili sebagai titik klimaks untuk menyatakan bahwa penafsiran dengan metode bil-ra’y itu ilmiah atau non-ilmiah.

Penulis merasakan akan banyaknya kekurangan yang ada pada tulisan ini. Kekurangan ini terjadi semata-mata karena pengetahuan penulis yang masih terbatas akan luasnya samudera ilmu di luar sana. Penulis sangat berharap pada para pembaca untuk bisa memberikan komentar atau kritiknya terhadap tulisan ini agar tulisan ini bisa lebih mencapai tahap lebih baik lagi dan hasil yang diinginkan oleh bersama.

b) Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diutarakan sebelumnya, maka akan ditarik rumusan masalahnya, yaitu:

*Menyoal unsur ilmiah dalam aktifitas penafsiran al-Quran dengan metode tafsir bil-ra’y.

c) Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini diharapkan kita bisa mengetahui bahwa penafsiran dari metode tafsir bil-ra’y ini adalah metode tafsir yang ilmiah atau non ilmiah.

d) Metode penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan pada makalah ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan metode pustaka, yakni metode penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber rujukan penelitian.


Bab II. Pembahasan

Apakah yang dimaksud dengan tafsir bil- Rayi?

Tafsir bil-ra’y adalah tafsir yang selain bersandar pada atsar juga memasukkan pikiran-pikiran rasional (ijtihad). Metode ini bersandar pada ayat al-Qur’an sendiri yang memerintahkan umat islam untuk berpikir menggunakan akal, seperti dalam surah Sad [38], ayat 29: كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَاب

"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”

Adapun pengertian yang lain dari Tafsir bil-ra’y adalah corak penafsiran yang menempatkan rasio (akal) sebagai unsur pokok di dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Corak penafsiran semacam ini sering pula disebut dengan corak penafsiran rasional, sebagai kebalikan dari tafsir bil-Matsur yang lebih mengutamakan aspek riwayat.

Dari kedua definisi di atas, penulis mendapatkan bahwa dalam tafsir bil-ra’y, akal menjadi alat untuk menafsirkan al-Quran. Dalam Islam, proses penggunaan akal untuk menyelesaikan masalah ini disebut dengan ijtihad. Ijtihad menjadi sebuah usaha untuk menyelesaikan masalah dengan akal. Ijtihad ini (dalam sebagian mazhab fiqih) digunakan saat tidak adanya teks (hadis atau sunah) yang menetapkan hukum suatu permasalahan.

Ketika metode ijtihad ini dikaitkan dengan proses penafsiran, bisa dikatakan bahwa dengan metode ijtihad-nya ini mufasir berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengungkap makna dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dengan metode ijtihad-nya ini mufasir tidak berarti memiliki kebebasan yang benar-benar bebas, namun juga mufasir terikat dengan ketentuan-ketentuan umum dalam menafsirkan.

Kiranya penulis mencukupkan pembahasan tentang definisi dari metode bil-ra’y ini. Jadi, tafsir bil-ra’y adalah tafsir yang menggunakan akal sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur’an dan tidak tergantung dengan penafsiran bil-Riwayah.

Apakah yang dimaksud dengan metode ilmiah?

Adapun definisi dari metode ilmiah adalah hasil penemuan yang telah diupayakan manusia dalam waktu yang cukup lama. Pandangan ini lebih condong kepada waktu yang digunakan untuk menghasilkan penemuan.

Definisi lain mengenai metode ilmiah adalah menggunakan metode dan prinsip-prinsip sains, yaitu sistematis dan eksak. Dengan kata lain, suatu hipotesis yang dirumuskan setelah data objektif dikumpulkan secara sistematis, diuji secara empiris. Empiris di sini berdasarkan data yang telah diobservasi. Sains bersifat sistematis dan mencoba melihat sejumlah observasi yang kompleks dalam hubungan yang logis.

Karena ilmiah itu berhubungan erat dan telah menyatu dengan sains (pandangan subjektif penulis), alangkah baiknya dalam tulisan ini menjelaskan tentang sains secara singkat. Sifat dari sains itu objektif, dalam arti bahwa sains menjauhi aspek-aspek yang subjektif. Karena itu pula kegiatan ilmiah itu sendiri tidak mencampurkannya dengan nilai-nilai etis. Sains tidak bertanya apakah objek penelitian itu baik atau buruk. Ilmu pengetahuan atau sains hanya mencoba untuk memahami dan menjelaskannya dengan meneliti prinsip-prinsip dan hakikat objek penyelidikannya.

Hakikat sains yang utama adalah sebagai suatu metode pendekatan terhadap keseluruhan dunia empiris, yakni dunia nyata yang dapat dikenal manusia melalui pengalamannya. Bagi sains, karena tidak memandang kebenaran mutlak, segala pengetahuan itu bersifat sementara atau tentatif yang dapat berubah bila ditemukan data baru. Disebutkan bahwa tujuan sains yang sebenarnya adalah untuk memahami dunia ini. Demikian penjelasan singkat tentang keilmiahan suatu ilmu yang dalam pandangan para filosof barat berkaitan dengan prinsip kerja sains.

Adapun ciri-ciri dari keilmiahan ilmu pengetahuan dalam pembahasan ini, penulis akan mengutip pendapat yang dikemukakan Van Melsen dalam bukunya, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, bahwa ciri-ciri ilmu pengetahuan antara lain: metodis; ada langkah-langkah yang ketat dan sistematis, tanpa pamrih; melepaskan diri dari anggapan-anggapan, objektivitas; dibimbing oleh objek penelitian dan tidak terdistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif, intersubjektivitas; kebenaran ilmu pengetahuan tidak bersifat pribadi melainkan harus disepakati oleh suatu komunitas ilmiah.

Agar lebih jelasnya lagi untuk mengetahui mana pengetahuan yang ilmiah dan non ilmiah maka penulis membuat tabel yang dikutip dari buku yang ditulis oleh Dony Gahral dalam bukunya, Menyoal Objektivitas Ilmu, yaitu:

Pengetahuan Ilmiah

Pengetahuan Non-Ilmiah

Tujuan

-deskripsi (menjelaskan gejala-gejala)

-eksplanasi (hubungan kausal)

-prediksi (lewat data-data objektif dapat dilakukan prediksi terhadap gejala-gejala yang muncul)

-bertahan hidup dalam kehidupan sehari-hari

(pragmatis)

Cara perolehan

-metodis

Melalui jalan tertentu dan setelah sampai pada pernyataan, maka pernyataan tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan (verifikasi/falsifikasi)

-sistematis (mengikuti urutan yang ketat)

-objektif (bebas nilai)

-warisan budaya

-tradisi

-metode yang tidak menjadi masalah

Pernyataan yang ambigu, kabur, tidak objektif

Setelah kita mengetahui ciri-ciri dari ilmu pengetahuan, maka kita akan mulai mengkaji metode bil-ra’y berdasarkan ciri-ciri tersebut:

1) Metodis; ada langkah-langkah yang ketat dan sistematis.

Apakah tafsir bil-ra’y dalam menafsirkan ayat itu bersifat metodis? Dalam hal ini, metode tafsir bil-ra’y bisa dikatakan mempunyai sifat metodis, yaitu dengan adanya tahapan-tahapan seorang mufasir yang harus dipenuhi sebelum menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yaitu;

* Menguasai ilmu bahasa Arab agar dapat menerangkan kosakata sesuai dengan penggunaan dan maksudnya.

* Menguasai ilmu nahwu karena makna itu berubah sesuai dengan irabnya.

* Menguasai ilmu saraf agar memahami perubahan bentuk lafal dan kalimat.

* Memahami ilmu balaghah.

* Memahami ilmu qiraat agar dapat memilih makna yang lebih kuat yang terkandung dalam satu lafal.

* Memahami ilmu ushul fiqh agar dapat menggali hukum dari ayat al-Qur’an.

* Menguasai ulumul Quran.

Ada juga beberapa kaidah yang harus dihindari oleh mufasir yang menggunakan metode tafsir bil-ra’y ini, yaitu;

* Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sementara ia sendiri tidak memenuhi syarat untuk itu.

* Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah.

* Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (penilaian baik kepada sesuatu dengan persepsinya).

* Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya atau tidak dimungkinkan mempunyai kandungan sebagaimana penafsirannya itu.

* Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung mazhab tertentu yang tidak benar dengan cara menjadikan paham mazhab tertentu sebagai dasar, dan penafsirannya mengikuti paham mazhab tersebut.

* Menafsirkan ayat-ayat disertai dengan kepastian bahwa makna itulah yang dikehendaki Allah tanpa didukung oleh dalil-dalil.

Berikut ini adalah dua contoh kitab tafsir yang bercorak bil-ra’y yang dianggap memenuhi dan sesuai dengan syarat-syarat seorang mufasir sebelum menafsirkan, yaitu:

1. Tafsir Mafatihul Ghaib yang disusun oleh Imam Fakhruddin Muhammad bin ar-Razi (w.606 H).

2. Tafsir Anwarut-Tanzil (Tafsir Baidawi) yang disusun oleh Imam al-Baidawi (w. 1286 H).

2) Tanpa pamrih; melepaskan diri dari anggapan-anggapan. Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa dalam menafsirkan sebuah kata pada al-Qur’an tidak bisa bebas sebebas-bebasnya walaupun menggunakan dengan perangkat akal. Akan tetapi didahului dengan pemahaman atas ilmu lain sebagai pendukung. Ini menandakan bahwa mufasir harus melakukan sebuah kajian yang mendalam, bukan sekadar asumsi-asumsi mufasir belaka.

Yang patut kita perhatikan adalah arti kata dari asumsi atau anggapan sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anggapan adalah sangkaan. Adapun menurut istilah adalah dugaan yang diterima sebagai dasar. Dalam bahasa Arab, dugaan ini disebut dengan zhann, yang artinya prasangka. Menurut sebagian ulama, tingkat dari zhann itu masih di bawah syak atau ragu. Dalam buku yang mengkaji tafsir tentang zhann, ia mengartikan sebagai pembicaraan yang berdasarkan nama Allah tanpa ilmu. Sekarang kalau kita merujuk pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufasir untuk menafsirkan bil-ra’y, kita akan mendapatkan bahwa metode bil-ra’y ini akan menghasilkan sebuah penafsiran yang bukan sekadar asumsi belaka atau penafsiran tanpa ilmu. Akan tetapi penafsirannya adalah hasil usaha keras sang mufasir dengan teliti, dalam arti bahwa pada penafsiran bil-ra’y seorang mufasir berusaha sekuat tenaga dengan seluruh kemampuannya untuk mengungkap makna dan maksud ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, penafsiran yang menggunakan metode bil-ra’y menurut kriteria ini adalah termasuk tanpa pamrih.

3) Universalitas; keberlakuan pada seluruh ruang dan waktu. Mengenai hal ini apakah penafsiran metode bil-ra’y ini sifatnya universal, dalam artian penafsirannya bisa berlaku pada seluruh ruang dan waktu. Hanya saja, dalam hal universalitas ini, Popper mengatakan bahwa kita tidak akan pernah memastikan secara logis bahwa kita telah mencapai kebenaran, meski kita dapat semakin mandek arti kepastian semacam itu lewat pengguguran teori-teori yang terbukti salah. Tapi ini justru menurut Popper adalah ilmiah. Ketika teori tersebut masih bisa dikritik dan disempurnakan kembali, ini adalah ilmiah.

Dengan adanya pernyataan yang mempunyai nama lengkap Karl Raimund Popper ini, penulis mendapatkan bahwa keilmiahan menurut Popper itu bisa dikatakan sesuai dengan penafsiran metode bil-ra’y yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan, sebab penafsirannya menggunakan akal. Penafsiran ini bisa berkembang, khususnya dalam penafsiran tentang hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Sebagai contoh, ketika biji dzarrah waktu itu ditafsirkan dengan sesuatu yang terkecil, dan sesuatu yang terkecil adalah butiran debu. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan, maka sekarang dzarrah dapat diartikan sebagai atom. Penulis mengambil contoh dari salah satu mufasir yang menggunakan metode bil-ra’y, yaitu Quraish Shihab;

Ayat 7 dan 8: Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, yakni butir debu, sekalipun—bahkan sekecil apa pun, kapan dan di mana pun—niscaya dia akan mengetahui bahkan melihatnya. Demikian juga sebaliknya barang siapa yang mengerjakan amal buruk seberat dzarrah sekali pun, niscaya dia akan melihatnya pula.

Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya, sebenarnya kata dzarrah ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang terkecil, sehingga ada yang memahaminya dalam artian semut yang kecil pada awal kehidupannya, atau kepala semut. Ada juga yang menyatakan ia adalah debu yang terlihat berterbangan di celah cahaya matahari yang masuk melalui lubang atau jendela. Dalam kitab tafsir yang berjudul Al-Quran dan Tafsirnya, penafsiran mengalami perkembangan dengan menafsirkan dzarrah sebagai atom, yaitu "Dalam ayat ini, Allah merincikan balasan amal masing-masing. Barang siapa beramal baik, walaupun hanya sebesar atom niscaya akan diterima balasannya..”. Ini menandakan bahwa penafsiran al-Quran berkembang mengikuti perkembangan pengetahuan. Penafsiran seperti ini hadir khususnya dalam penafsiran ayat-ayat kauniyyah (berkenaan dengan alam semesta). Berdasarkan penelitian pada hal ini karena ini sesuai dengan pernyataannya Popper, maka penafsiran dari metode tafsir bil-ra’y sifatnya universal.

4) Objektivitas; dibimbing oleh objek penelitian dan tidak terdistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif.

Dalam hal objektivitas penafsiran dengan metode bil-ra’y, ada beberapa yang menyangsikan bahwa dalam penafsiran ini tidak terlepas dari unsur subjektivitas. Karena menurut pendapat sebagian ulama, ada sebagian penafsir al-Quran dengan metode bil-ra’y ini menggunakan pandangan subjektivitas mufasir. Mereka mencela orang-orang yang menafsirkan seperti ini. Akan tetapi, apabila kita merujuk pada syarat-syarat di atas, penafsiran ini akan tetap terpaku pada objek. Seperti para mufasir yang mengartikan mufradat (kata-kata) al-Quran dengan melihat benar-benar sesuai dengan konteks yang ada, tanpa memaksakan pandangan pribadi terhadap mufradat tersebut.

Dalam hal ini tokoh hermeneut, Emilio Betti yang menganut paham hermeneutika teoritis, Betti menawarkan empat momen gerakan untuk menemukan makna objektif: pertama, penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks; kedua, penafsir harus mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan; ketiga, penafsir harus menempatkan diri dalam posisi seorang penggagas melalui kerja imajinasi dan wawasan; dan keempat, melakukan rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi guna memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks. Pada poin kedua yang diungkapkan Betti bahwa mufasir harus mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan, atau dari pandangan subjektivitasnya agar mendapatkan makna yang diinginkan teks. Berdasarkan hasil penelitian terhadap objektivitas ini, maka penulis menyimpulkan bahwa penafsiran dengan metode bil-ra’y bersifat objektif.

5. Intersubjektivitas; kebenaran ilmu pengetahuan tidak bersifat pribadi melainkan harus disepakati oleh suatu komunitas ilmiah. Dalam hal ini, kita akan membuktikan apakah penafsiran metode bil-ra’y ini bersifat intersubjektivitas? Dengan merujuk pada perangkat yang digunakan metode bil-ra’y ini adalah akal, maka penafsiran ini akan menimbulkan banyak peluang perbedaan penafsiran terhadap suatu ayat. Karena akal berkaitan erat dengan pengetahuan, kita akan mendapatkan bahwa pengetahuan seseorang itu berbeda antara satu mufasir dengan yang lainnya. Akan tetapi apakah ini menandakan bahwa ilmu hasil dari tafsir ini tidak berkaitan dengan ilmu yang lain. Dalam penafsiran bil-ra’y ini juga tidak mungkin mufasir tidak menggunakan ilmu-ilmu yang lain. Justru ilmu yang lain dijadikan sebagai ilmu pendukung untuk manafsirkan. Seperti kaitannya dengan ilmu balaghah, penguasaan bahasa Arab, ilmu ma’ani, bayan, dan badi’ (untuk mengetahui keindahan susunan pembicaraan yang memberikan suatu pengertian dan jalan-jalan mengetahuinya) dan ilmu kalam.

Maka dengan adanya perangkat ilmu lain sebagai pendukung untuk memahami al-Quran dengan metode tafsir bil-ra’y ini, analisis penulis menyatakan bahwa ia bersifat intersubjektivitas.


Kesimpulan

Pada dasarnya semakin berkembang ilmu pengetahuan, semakin dibutuhkan penafsiran al-Qur’an bil-ra’y. Karena dengan corak penafsiran seperti inilah maksud al-Qur’an makin terungkap dan dapat memberikan jawaban terhadap berbagai masalah yang berkembang di dalam kehidupan umat manusia.

Adapun kekhawatiran akan terjadinya kekeliruan dan penyimpangan terhadap ayat al-Qur’an karena menggunakan metode ini merupakan kekhawatiran yang berlebihan, sebab berdasarkan hasil dari pembahasan di atas, kita mengetahui bahwa jauh-jauh hari para ulama sudah memberikan pagar-pagar berupa persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Selama pagar-pagar itu tidak dilewati, selama itu pula penafsiran mufasir dapat dibenarkan (pandangan subjektif penulis).

Berdasarkan kajian tentang bahasan di atas, yaitu menyoal keilmiahan metode tafsir bil-ra’y, maka penulis menyimpulkan bahwa penafsiran metode bil-ra’y ini bersifat ilmiah. Penulis melihat dan mendasarkan analisis dan observasi pada referensi yang ada bahwa ia memenuhi kriteria untuk disebut ilmiah, yaitu ketika dikaji pada ciri-ciri ilmu pengetahuan yang antara lain; metodis, tanpa pamrih, objektivitas, dan intersubjektivitas.

Penulis hanya ingin menekankan di sini bahwa ini hanya sebuah kesimpulan yang tentatif (sementara) dari penulis yang dirasakan masih banyak kekurangan dalam tulisan ini. Apabila di kemudian hari terdapat pembahasan yang lebih ilmiah dari tulisan ini, penulis akan berbesar hati untuk menerima hal tersebut. Seandainya ada kritik dan saran --dalam rangka membangun-- dari pembaca mengenai tulisan ini, penulis akan menerimanya dengan senang hati. {Wassalam}

Daftar Pustaka

Biro Bina Mental Spiritual, Ilmu-Ilmu Al-Quran, DKI Jakarta. 1993.

Izzan Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Tafakur. 2011.

Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, Lentera Abadi. Jakarta. 2010.

Lubis Akhyar Yusuf & Adina Dony Gahral, Pengantar Filsafat Ilmu. Pengetahuan. Koekoesan. Depok. 2011.

Mukadimah Al-Quran dan Tafsirnya, Universitas Islam Indonesia, 1990.

Nasution S, Metode Research, Bumi Aksara. Jakarta. 2012.

Shihab Quraisy, Tafsir al-Misbah, Lentera Hati. Jakarta. 2006.

Wijaya Aksin, Teori Interpretasi Al-Quran Ibn Rusyd, LKIS. 2009.

komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: