bayyinaat

Published time: 19 ,February ,2017      14:35:59
Hakimah Khofiful Luthfiyah
Penulis akan mengupas satu-persatu secara berurutan dari makna prasangka sampai pada penyembuhan ghibah dan taubat dari perbuatan tersebut sebagai solusi dari sebuah dosa dan pelanggaran dan pembahasan ini menjadi lima bagian: prasangka, tajassus, ghibah, takwa dan taubat. adapun pada tulisan ini akan dibahas pada bagian pertama tentang prasangka buruk.
Berita ID: 20
Tafsir Surah Al-Hujarat Ayat 12 Bag.1
MUKADDIMAH

Artikel ini ditulis untuk mengupas secara detail dan terperinci dengan merujuk pada beberapa sumber berkenaan dengan ayat ke-12 dari surah al-Hujurat.

Mengapa harus surah hujurat ayat ke dua belas?

I. Pertama, karena surah hujurat sebagai surah yang berkaitan dengan adab dan akhlak. Dan memuat tata cara hidup bermasyarakat.

II. Kedua, dalam ayat ini terdapat larangan atas hal-hal yang menyebabkan perpecahan di dalam diri kaum muslimin itu sendiri seperti prasangka buruk, tajassus, dan ghibah.

III. Ketiga, dari segi kandungan hukum fikih, ayat ini memuat beberapa hal yang diharamkan yaitu, tajassus dan ghibah.

IV. Keempat, dalam penerapan sehari-hari, kebiasaan ngerumpi diantara kaum wanita kerap menjebak mereka pada tindak menggunjing orang lain. Memang benar wanita kerap dikaitkan dengan kebiasaan buruk yang satu ini. Dan "banyak bicara” menjadi ciri khasnya walaupun sesungguhnya tidak semuanya demikian. Mengobrol yang tidak terkontrol pada akhirnya berujung pada menggunjing, memang suatu hal yang tidak terasa, tetapi sesungguhnya telah menanti baginya sebuah ganjaran yang menyakitkan. Semoga kita terhindar dari perbuatan yang tercela ini.

Maka untuk mencegah kebiasaan buruk semacam itu, al-Qur’an dengan tegas memuat larangan tersebut dalam ayat ini.

Dari surah al-Hujurat ayat 12 dapat ditarik lima pembahasan penting yang meliputi; prasangka, tajassus, ghibah, takwa dan taubat. Pada dasarnya, ayat ini menyuguhkan tiga step yang menciptakan mata rantai sebab akibat:

1. Prasangka buruk yang mana menjadi sebab mengadanya step kedua.

2. Tajassus atau mencari-cari aib dan cela person tertentu bahkan masalah pribadi dan rahasianya yang menjadi landasan utama bagi step ketiga.

3. Ghibah atau menggunjing aib person yang telah dicari kesalahannya dan terungkap masalah pribadinya.

Karena itu penulis akan mengupas satu-persatu secara berurutan dari makna prasangka sampai pada penyembuhan ghibah dan taubat dari perbuatan tersebut sebagai solusi dari sebuah dosa dan pelanggaran.

Akhirnya penulis membagi pembahasan ini menjadi lima bagian: prasangka, tajassus, ghibah, takwa dan taubat. adapun pada tulisan ini akan dibahas pada bagian pertama tentang prasangka buruk.

BUNYI SURAH AL HUJURAT AYAT 12

يا ايها الذين امنوا اجتنبوا كثيرا من الظن ان بعض الظن اثم ولا تجسس ولا يغتب بعضكم بعضا ايحب احدكم ان ياكل لحم اخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله ان الله تواب الرحيم

"Wahai orang-orang yang beriman jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

TAFSIRAN AYAT

اجتنبوا diambil dari kata جانب dan termasuk kata kerja perintah (fiil amr) yang arti leksikalnya adalah menyingkirlah ke pinggir jangan mendekati sesuatu itu atau jauhilah sesuatu itu. Dan didalam ayat ini seorang muslim dan mukmin dilarang untuk berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan muslim lain, membongkar apa yang telah tersembunyi baginya dan menggunjing sebagian yang lain.[i]

Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan prasangka pada ayat ini hanya larangan terhadap prasangka buruk. Maka yang dilarang di sini bukan semua prasangka karena justru prasangka baik itulah yang dianjurkan dalam Islam.[ii] Sebagaimana dalam QS. an-Nur ayat 12,

لولا إذ سمعتموه ظن المؤمنون و المؤمنات بأنفسهم خيراً

"Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar bnerita bohong itu dan berkata,”ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata.”

Di dalam konteks ayat ini digunakan kata كثيرا yang merupakan bentuk nakirah untuk menunjukkan arti kebanyakan. Maksudnya adalah betapa banyaknya dzon yang buruk, maka jangan merealisasikankan dzon itu misalnya seperti mengubah sikap dan tindak tanduk kita terhadapnya dan menghinanya dan lain sebagainya yang termasuk sebagai efek buruk dan diharamkan.[iii] Maka dapat kita simpulkan bahwa dzon yang termasuk dosa dan yang dilarang Allah adalah yang terkait dengan menetapkan pengaruh dari dzon, bukan prasangka itu sendiri yang dilarang.

Di sini muncul pertanyaan bahwa baik prasangka baik maupun prasangka buruk adalah sesuatu yang datang menyerang secara tiba-tiba ke dalam pikiran kita yang mana muncul tanpa ikhtiar dan secara tiba-tiba terlintas di benak manusia ketika menyaksikan sesuatu. Lalu bagaimana Tuhan melarang sesuatu yang keluar dari ikhtiar manusia?

Jawaban atas pertanyaan di atas:

1. ان بعض الظن اثم (sesungguhmya sebagian prasangka itu dosa) maksudnya adalah menjauhi prasangka yang kita lanjutkan dengan menetapkan pengaruh (akibat) dari prasangka yang muncul tadi menjadi prasangka yang buruk lalu menetapkan prasangka buruk itu bagi orang yang kita prasangkai itu dengan tuduhan yang belum dicek benar atau tidaknya, lalu kita hinakan dia di depan orang lain berdasarkan atas tuduhan kita tadi. Maka jelas larangan di sini adalah prasangka tanpa dalil. Dan yang termasuk dalam pengucualian hukum ini adalah prasangka dengan dalil seperti sebuah prasangka yang disertai dengan kesaksian dua orang adil

2. Manusia mampu menjauhi prasangka buruk dengan menyibukkan pikirannya dengan berbagai macam hal, misal, ketika terlintas prasangka maka anggap saja bahwa yang dilakukan fulan adalah dengan tujuan mulia dan lain sebagainya. Dengan kata lain, prasangka buruk bisa ditepis dengan mengedepankan prasangka baik (husnudzan)[iv].

Dapat disimpulkan bahwa perintah untuk menjauhi prasangka ini adalah satu perintah dari sekian banyak perintah tentang bagaimana hidup bermasyarakat dan begitu memperhatikan hubungan antar sesama manusia dalam kehidupan bersosial yang mana memuat pesan keamanan dan ketentraman masyarakat secara sempurna serta menjaga persatuan antar muslimin.

PEMBAGIAN PRASANGKA BURUK

Ada beberapa pembagian prasangka buruk berdasarkan obyeknya, yaitu:

Pertama: Prasangka buruk kepada Allah SWT seperti di dalam hadis, seseorang yang tidak menikah karena takut miskin maka pada hakikatnya ia berburuk sangka kepada Allah SWT. Ia berprasangka jika dia hidup sendiri, maka Alllah pasti memberi rezeki, tetapi jika dia hidup berkeluarga, maka Allah tidak akan mampu memberinya rezeki.

Kedua: Berprasangka buruk pada manusia, yang juga dilarang oleh ayat ini.

Ketiga: Berprasangka buruk kepada diri sendiri dan ini mendapat pujian. Manusia memang harus berprasangka buruk kepada dirinya sendiri. Jikalau ia berprasangka baik pada dirinya, maka ia akan melihat dirinya sebagai seorang manusia sempurna. Imam Ali mengatakan tentang sifat-sifat orang yang bertakwa. Salah satu tanda sifat orang yang bertakwa adalah ia selalu berprasangka buruk terhadap dirinya.[v]

Manusia yang suka berprasangka baik kepada dirinya maka itu artinya ia memiliki ilmu dan iman yang sangat kurang, karena dengan cahaya yang kurang terang manusia tidak bisa memahami dirinya. Permisalan jika anda memasuki ruangan yang gelap dengan membawa lampu, boleh jadi anda hanya dapat melihat hal-hal besar. Namun ketika anda menggunakan lampu yang sangat terang maka anda dapat melihat semuanya bahkan korek api atau rokok di ruangan itu.

Manusia yang membawa cahaya yang tidak begitu terang, hanya akan takut dengan dosa-dosa besar saja. Terkadang mereka mengatakan, bukankah saya tidak membunuh, bukankah saya tidak masuk ke rumah orang untuk mencuri? Orang ini hanya menyangka, bahwa yang namanya dosa, ya seperti itulah. Namun jika cahayanya sangat terang, mereka dapat melihat betapa dosa-dosa yang sangat kecil pun sangat kotor tampaknya, sehingga pada akhirnya mereka akan merengek-rengek kepada Allah SWT. Karena itu, tak perlu heran jika para Imam Ahlulbait as banyak menangis dan bermunajat karena memang cahaya yang mereka miliki begitu terang benderangnya. Sungguh sulit tampaknya bagi manusia-manusia yang selalu merasa dirinya dan perbuatannya benar untuk memajukan dirinya sendiri. Manusia seperti itu selalu melirik ke belakang dan ke jalan yang telah ia tempuh yang menurutnya ia selalu melakukan sesuatu yang benar. Padahal jika saja ia mau melihat ke depan barang sejenak dan memperhatikan jalan-jalan yang belum pernah dilaluinya, ternyata masih banyak sekali jalan yang belum diinjaknya.

Oleh karena itu, kita tidak boleh terjebak dan harus waspada. Anggaplah diri kita ini selalu kekurangan dan harus terus belajar, tapi teladanilah pula orang-orang yang selalu berprasangka baik, dan selalulah memohon bantuan kepada Allah.



[i] Tafsir Ruh al-Ma’ani, jilid 26, hal 428 dan tafsir al-Mizan, jilid 18, hal 323.

[ii] Tarjomeh_e Tafsir al-Mizan, jilid 18, hal 483.

[iii] Tafsir al-Amtsal, jilid 16, hal 548 dan tafsir Qur’an Mehr, jilid 19, hal 271.

[iv] Tafsir al-Amtsal, jilid 16, hal 548-549 dan Tafsir Jawan, jilid 22, hal 123-125.

[v] Tafsir untuk Anak Muda Surah Hujurat, hal 93.

komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: