bayyinaat

Published time: 11 ,October ,2017      19:21:04
Hakimah Khofiful Luthfiyah
Jadi, interpretasi takwa ialah meninggalkan sesuatu yang tidak boleh diambil karena takut pada yang mempunyainya. Hakikat takwa adalah ketaatan; ingat tanpa lupa; pengetahuan tanpa disertai kebodohan; dan dikabulkan tanpa ditolak sama sekali. Hal ini ditegaskan oleh ucapan Imam Ali as, ”Jangan sampai Allah kehilanganmu saat Dia memerintahmu dan tak melihatmu saat Dia melarangmu.”
Berita ID: 80

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Bag. 4: Takwa
Allah swt berfirman:

﴿ واتقوا الله ﴾

Dan bertakwalah kepada Allah

Telah kita ketahui bahwa berprasangka buruk, mencari kesalahan orang lain, dan menggunjing adalah sebuah penyakit jiwa, termasuk larangan yang bertentangan dengan perintah takwa kepada Allah dan merupakan dosa besar. Secara leksikal, takwa (تقوى) berasal dari akar kata wiqayah (وقاية) yang artinya usaha dalam menjaga sesuatu. Secara teknikal, sesuatu yang dijaga itu adalah jiwa dan ruh dari segala jenis perbuatan buruk, juga membangun kekuatan dalam mengerjakan sesuatu yang mana didalamnya terdapat keridhoan Allah.[i] Jadi dapat disimpulkan bahwa meninggalkan larangan dan melaksanakan perintah-Nya bukanlah definisi dari ketakwaan melainkan hanya efek dan asar dari ketakwaan. Takwa adalah rasa di dalam jiwa yang mengontrol diri agar tidak melakukan keburukan. Sehingga ketika ada rasa mawas diri ini maka timbullah efek darinya yaitu melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dan ketakwaan inilah yang akan membentengi seseorang dan membuat seseorang selalu mengikatkan dirinya pada Allah. Sebagaimana dalam perkataan Imam Ali as, ”Bertakwalah kepada Allah dengan sebagian ketakwaan (walaupun sedikit) dan jadikanlah antara engkau dan Allah penutup walaupun tipis.”[ii] Dan paling minimnya ketakwaan manusia kepada Allah yaitu menahan diri untuk tidak berkata bahwa andai saja sesuatu yang Allah halalkan itu diharamkan saja atau andai yang Allah haramkan dihalalkan saja. Atau terkait dengan perilaku Nabi saw, coba saja Nabi saw bertindak seperti ini saja, kenapa Nabi saw bertindak seperti itu. Dan ini termasuk sebuah keberanian yang sembrono dan tindakan yang bodoh.

Perlu diketahui bahwa ketakwaan bukan berarti meniscayakan kemaksuman, akan tetapi ia yang telah bertakwa mengupayakan dari apa yang dilakukannya untuk mencegah dirinya agar tidak melakukan keburukan. Orang yang bertakwa tidak selalunya berjalan mulus karena mungkin saja ia akan tergoda rayuan setan. Akan tetapi bedanya orang bertakwa dengan yang tidak adalah ketika orang bertakwa tergoda maka ia lebih cepat sadar untuk kembali pada Allah ketimbang yang belum bertakwa.

Berikut tahapan seseorang untuk berbenah diri (murabathah) yaitu:

· Musyarathah yaitu ikrar janji terhadap diri sendiri untuk tidak bermaksiat, mempunyai keinginan untuk taat mutlak dan menghamba kepada Allah.

· Muraqabah yaitu kesadaran untuk mengontrol diri dan waspada terhadap apa yang dilakukannya, sesuaikah dengan keridhoan Allah dan yang dikehendaki-Nya ataukah tidak.

· Muhasabah yaitu perhitungan amal (instropeksi diri) yang telah dilakukannya hari itu sebelum tidur. Dan bersyukur (syukur dengan lidah dan hati) jika berhasil dalam pelaksanaan musyarathah dan muraqabah, serta beristighfar dan menyesal jika belum berhasil.

· Mu’atadah yaitu kritik dan celaan terhadap diri sendiri ketika belum berhasil dalam pelaksanaan program di atas agar timbul penyesalan namun harus hati-hati agar jangan sampai menjadi sebab keputusasaan dan malas berusaha.

· Mu’aqabah semacam hukuman bagi diri sendiri jika belum berhasil dalam pelaksanaan program di atas dengan hukuman yang membuat jera diri sendiri agar meninggalkan kebiasaan berbuat dosa. Dan hukuman yang dimaksud di sini adalah hukuman syar’i yang tak bertentangan dengan perkara akhlak dan tak menjadi sebab semakin jauh dari Allah dan keruhnya jiwa. Paling baiknya hukuman adalah membayar infak dan sedekah, membaca Qur’an, doa-doa dan ziarah, mengerjakan salat dan puasa sunnah serta perbuatan sunnah yang lain. Jadi selain merupakan hukuman, juga merupakan penerang hati dan jiwa. Hukuman juga jangan ifrath (berlebihan) dan tafrith (kekurangan), jangan terlalu berat dan jangan terlalu ringan. Hingga tak menyebabkan kelalaian dalam usaha dan juga pengulangan dalam dosa.[iii]

Tiga jenjang takwa;

  • Takwa i’tiqadi yakni penjagaan diri dari azab abadi dengan cara mencari ilmu dan ma’arif serta keyakinan yang benar.
  • Takwa atas dosa yakni menjauhi segala macam perbuatan dosa. Dan ini sifatnya lebih umum dari meninggalkan yang diwajibkan dan mengerjakan maksiat.
  • Takwa Qalbi yaitu mawas diri atas segala sesuatu yang menyibukkan hati manusia dan melalaikan manusia dari kebenaran. Dan ini merupakan takwa secara khusus.[iv]

Sesungguhnya takwa adalah wasiat Allah bagi hamba-Nya dan wasiat para nabi bagi umatnya. Dan ketakwaanlah yang menjadi sebab kejayaan dunia dan sebagai tujuan dari ibadah yang baik dan ikhlas. Sesungguhnya jiwa yang tentram dan terkontrol akan menghasilkan lisan yang terkontrol dan tindakan yang terukur. Ketahuilah bahwa lidah seseorang pastilah sesuai dengan keadaan jiwanya, karena keadaan jiwa seseorang akan terefleksi pada perbuatan dan lisannya. Dan ketakwaan akan membias ke dalam jiwa, lalu jiwa akan mengejawantah menjadi tindakan.

Jadi, interpretasi takwa ialah meninggalkan sesuatu yang tidak boleh diambil karena takut pada yang mempunyainya. Hakikat takwa adalah ketaatan; ingat tanpa lupa; pengetahuan tanpa disertai kebodohan; dan dikabulkan tanpa ditolak sama sekali.[v] Hal ini ditegaskan oleh ucapan Imam Ali as, ”Jangan sampai Allah kehilanganmu saat Dia memerintahmu dan tak melihatmu saat Dia melarangmu.”[vi]



[i] Tafsir Jawan, jld. 22, hal. 142. Tafsir Mehr, jil. 19, hal. 280.

[ii] Syaikh Fadhlullah al-Ha’iri, Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku, h. 73, bab Taqwa dan Orang-Orang yang Bertaqwa, hadis no. 1.

[iii] Sokhanrani Ayatollah Komayliy Khurasani tentang mabani amaliy irfan.

[iv] Tafsir Mehr, jld. 19, hal. 281. Mishbah asy-Syariah, hal. 38. Biharul Anwar, jld. 67, hal. 136 & 295. Tafsir Jawan, jld. 22, hal. 142.

[v] Bihar al-Anwar, jld. 70, h. 295-296, hadis no. 41.

[vi] Ibid, h. 205.


komentar Pemirsa
Nama:
Email:
* Pendapat: